Saturday, April 4, 2020

Endless Night (Malam Tanpa Akhir)





Seorang pria tampak berdiri di pinggir jalan desa ini, dia menghela nafas panjang sembari memandang ke tebing yang berada jauh di depannya. Baru pukul 5 sore namun jalan raya yang menjadi akses desa sudah tampak sepi. Tak ada orang maupun kendaraan yang berlalu lalang. Di area persawahan pun para petani sudah tidak terlihat lagi. Suhu udara terasa semakin dingin.

Matanya masih menatap nanar ke kejauhan. Proyeknya di tempat ini gagal. Sistem pertanian yang dikembangkannya tidak berjalan dengan baik. Semuanya kandas di bulan September ini. Bulan yang seharusnya menjadi periode panen, malah menjadi malapetaka untuknya dan juga para petani yang telah mempercayakan tanah mereka kepadanya. Batinnya mengerang. Ingin rasanya dia pergi ke tebing tinggi yang terlihat dari tempatnya berdiri, hanya untuk menghempaskan tubuhnya ke tanah.



Pria itu menghela napas panjang dan menarik rambutnya kebelakang. Kepalanya sangat pusing. Meski para petani itu mengerti kalau sistem yang diperkenalkannya bukanlah hal yang biasa dan beresiko. Namun mereka tetap mempercayai pria itu. Mata pria itu mulai berkaca-kaca. Dia menahan sesak didadanya. Terlalu banyak kesalahan yang dia lakukan. Seharusnya dia mencoba sistem tersebut terlebih dahulu menggunakan fasilitas pertanian dan lahan milik universitas tempatnya bekerja. Kini dia sangat menyesal sejadi-jadinya karena terlalu percaya diri akan gelar Insinyur dan Doktor yang disandangnya, serta pengalaman keberhasilannya yang baru 10 tahun. Sedangkan para petani itu sudah hidup sampai beberapa generasi di tanah ini.

Kesadaran pria itu kembali, yang kini berganti dengan perasaan rindu akan rumah. Dia ingin segera menumpahkan isi hatinya. Bersandar pada seseorang yang selama ini membantunya untuk bisa bertahan hidup. Namun langit tampak tidak bersahabat. Rintik rintik hujan mulai turun dan membasahi tubuhnya. Dia berlari sekencang mungkin menuju halte bus kecil tempatnya biasa menunggu bus, satu-satunya alat transportasi ke desa ini. Setiap harinya bus hanya berhenti 4x. Pukul 7:00, 12:00, 15:00 dan 18:00. Seharusnya dia belum telat untuk mendapatkan bus terakhir. Sebelumnya jika dia tidak mendapatkan bus terakhir, dia akan menginap dirumah salah satu warga. Namun dia tahu, kini sudah hampir tidak mungkin lagi.

Di halte bus itu terlihat seorang wanita yang sudah terlebih dahulu duduk, rambutnya yang sepundak terlihat sedikit basah. Dia memeluk tas ranselnya erat karena kedinginan. Pria itu tersontak kaget melihatnya. Sedangkan wanita itu masih tak sadar dengan keadaan sekitarnya. Dia menaruh tas ranselnya disamping dan menggulung sedikit ujung celana jeansnya agar tidak terkena cipratan air hujan. Saat itu pula lampu kecil yang ada di halte itu menyala. Kini dia bisa melihat pria yang ada disampingnya dengan jelas. Pria itu menatapnya kaku dan langsung memalingkan matanya.

Dari seluruh makhluk yang paling tidak ingin dia temui dimuka bumi ini. Wanita ini ada dalam urutan pertamanya. Tapi pria itu tetap mencoba mempertahankan harga dirinya dan berusaha untuk tidak menampakkan wajah paniknya di depan wanita itu. Jantungnya berdegup sangat kencang. Kali ini dia berpikir untuk beranjak pergi saja, berjalan menembus hujan. Tapi dia masih kepikiran akan laporan milik beberapa mahasiswanya yang akan basah. Dan dia juga tidak punya tempat singgah. Jadi mau tak mau dia duduk disamping wanita itu. Memandangi hujan yang turun semakin deras.

Setengah jam berlalu tanpa percakapan apapun diantara mereka. Berkali-kali pria itu melihat ke ponsel, namun tidak ada signal, tak ada yang bisa dilakukan. Dia hanya menggeser ke kanan dan kiri isi galeri foto miliknya. Dia mencoba menyibukkan diri dengan membaca majalah pertanian edisi terbaru yang dibawanya dari kampus. Sedangkan wanita di sampingnya menatap kosong lurus ke depan. Resah menunggu bus yang tak kunjung datang. Petir terdengar menyambar berkali-kali. Jalanan pun terlihat sangat gelap. Punggung pria itu terasa di aliri dengan keringat dingin. Dia mencoba memberanikan diri menghadapi kondisi ini.

“Sedang apa… di desa ini?” ujar pria itu kaku, padahal dia telah memikirkan kata-kata pembuka yang lebih baik daripada itu selama setengah jam.

“Mengunjungi teman yang baru melahirkan.” jawab wanita itu ringan tanpa menatap pria yang duduk disampingnya. Dia tak menyangka akan bertemu pria itu lagi. Setelah bertahun-tahun menyimpan rasa sakit hati padanya. Namun ternyata, pertemuan di tempat yang asing ini malah tidak semenyakitkan perkiraannya. Ada rasa rindu yang terpendar saat mendengar suaranya. Ada rasa sedih juga karena berakhir dengan menyakitkan.

“Siapa?” tanya pria itu penasaran, sekedar asal ada bahan obrolan saja. Sesak, dia merasa harus terus bicara agar tidak terasa sakit. Karena melihat wanita itu saja sudah menyakitkan untuknya. Apalagi jika harus ditelan keheningan bersamanya.

“Matsuzono-san.” Kini wanita itu menatapnya. Wajahnya sedikit berubah dibanding dahulu. Terlihat lebih pucat dan kusam.

“Keluarga kepala desa?”

“Ya, dia teman kerjaku.” Wanita itu tersenyum sambil memandangi pria itu lekat. Lalu melanjutkan kata-katanya lagi.

“Proyek Kagami-san disini sekarang?” tanyanya pelan, wanita itu tak lagi memanggilnya dengan nama kecil atau nama panggilan yang dibuat khusus untuk nya seperti dahulu. Dia tidak lagi memanggilnya dengan Hideki, Hide, Hii-kun atau Hi-chan. Terasa aneh mendengarnya menyapa dengan cara formal, namun memang beginilah yang sepantasnya.

“Iya.” ujarnya datar, menyembunyikan keinginannya untuk curhat panjang lebar mengenai kegagalannya.

“Sudah lama bekerja disini?” tanya wanita itu kembali. Kagami memandangnya, wanita itu balas tersenyum kecil. Sudah 3 tahun berlalu sejak Hideki melihat Takahashi Chizuna. Mantan kekasihnya dan juga sahabatnya sejak sekolah dasar. Tidak, kini semua itu bukan lagi deskripsi Chizuna pada diri Kagami Hideki. Kini Chizuna hanya orang asing, yang pernah dia sakiti sampai sejadi-jadinya, sesakit-sakitnya. Sampai saat inipun Hideki merasa Chizuna mungkin tidak akan pernah memaafkannya. Namun entah kenapa karena percakapan ini, dia mencoba sedikit berangan-angan. Jika tidak ada kejadian itu, apakah mereka masih hidup dalam kebahagiaan seperti dahulu?

“Sekitar 1 tahun 2 bulan” ujar Hideki singkat.

“Oohhh sudah lama juga ya… ngomong-ngomong… apa ada masalah ya dengan bus terakhirnya?” tanya Chizuna yang terdengar mulai agak panik. Jam tangannya telah menunjukkan pukul 19:55 dan tidak ada tanda-tanda kehadiran bus ataupun mobil yang melewati tempat tersebut.

“Tidak tahu juga, bus itu jarang sekali terlambat sampai selarut ini.”

“Oh ya? Ada kemungkinan bus itu tidak akan datang kah?“

“Mungkin, ini sudah lewat 2 jam dari jadwal.”

“Hahaha, kalau kita sampai terjebak disini, mengerikan juga ya. Seperti harus menghadapi takdir yang tak bisa dielakkan.” Tawa renyah Chizuna berganti dengan raut wajah tegang dan serius saat mengutarakan kalimat terakhir itu.

Hideki tersontak karena kalimat ini. Dia tahu dan yakin Chizuna tidak akan pernah memaafkannya. Keringat dingin kini mengucur dari dahinya. Dia tidak tahu harus berkata apa.

“Aku.. tinggal di panti rehabilitasi selama 2 tahun.” Ujar Chizuna memecah keheningan. Pandangannya nanar menatap ke kejauhan yang gelap. Hideki hanya bisa terdiam. Dia mendapat kabar tentang Chizuna dan kejadian yang sesungguhnya terjadi baru 6 bulan yang lalu. Dan saat itu, semuanya sudah sangat terlambat.

“Setelah kejadian itu, mereka mendiagnosisku memiliki gangguan mental.” lanjut Chizuna sembari memeluk erat tas ranselnya dan memandang langit gelap yang tidak lagi menurunkan air hujan.

“Jujur aku juga bingung, kenapa aku masih hidup sampai sekarang.” tanyanya tanpa berharap jawaban.

Hideki menatap sepatunya, dadanya terasa sesak. Airmata yang sebelumnya mampu dibendungnya, kini jatuh bercucuran.

“Maafkan… maafkan aku…” ujar Hideki terbata-bata diselingi airmata yang semakin deras berjatuhan. Chizuna menatapnya nanar. Suara tangisan Hideki terdengar sangat jelas.

“Di hari itu, aku sudah kehilangan semuanya.” ujar Chizuna sembari membuka ranselnya dan mengeluarkan sapu tangan yang masih kering. Dia menyodorkannya kepada Hideki.
“Bukan salah Kagami-san juga jika tidak mempercayaiku. Memang kondisinya yang sangat kacau kan? Aku mengerti kok..” Ujar Chizuna sembari tersenyum, tangannya masih menanti Hideki mengambil sapu tangan tersebut.

Hideki menggapai sapu tangan itu, dia merasakan tangannya bersentuhan dengan tangan Chizuna, sekelebat tragedi pilu itu kembali dalam ingatannya.

Hari itu, musim gugur 3 tahun lalu, Hideki yang baru saja kembali dari dinas luar kota, menemukan kekasihnya tergeletak tanpa busana di ruang tamu. Sedangkan seorang pria yang dikenalnya sebagai tetangga berada di dapurnya, mengenakan pakaiannya dan meminum bir kalengan miliknya. Tanpa banyak kata Hideki langsung menghajar pria itu secara brutal, mematahkan beberapa giginya. Mengusirnya keluar dari apartment miliknya. Dengan emosi yang masih berada di ubun-ubun dia membangunkan Chizuna yang masih setengah sadar. Memukulinya juga sampai badannya penuh memar. Menghinanya dengan kalimat-kalimat menyakitkan yang tak bisa dia tarik kembali. Tanpa tahu kalau kekasihnya itu baru saja disekap dan diperkosa selama 3 hari dibawah pengaruh obat-obatan yang diberikan secara paksa.

Chizuna melaporkan kejadian pemerkosaan tersebut kepada polisi, namun tidak pernah ada kelanjutan proses karena bukti yang kurang. Parahnya hal tersebut malah jadi bumerang untuk Chizuna sendiri karena ditemukan kandungan obat-obatan terlarang didalam darahnya. Chizuna pun dimasukkan ke panti rehabilitasi. Hideki yang saat itu menolak mempercayai Chizuna, terus dipenuhi dengan amarah. Dia mengeluarkan semua barang Chizuna dari apartemen dan pindah ke Kyoto 3 minggu setelah kejadian tersebut tanpa berkomunikasi lagi dengan wanita itu. Hingga sampai pada 6 bulan lalu, ibu Chizuna datang untuk meminta pertolongannya bersaksi di persidangan.

“Oh ya! Selamat atas pernikahannya ya. Kemarin aku buka instagram dan saat kulihat halaman depan, ada foto-foto pernikahan milikmu. Indah sekali ya.” Suara Chizuna memecah lamunan Hideki akan memori buruk yang terputar di otaknya. Mata Chizuna tampak berkaca-kaca. Lampu di halte bus ini pun mulai meredup. Rasa bersalah itu, akan terus menghantui Hideki seumur hidupnya. Dan mungkin tak akan pernah hilang sampai dia mati.

“Itu.. sudah 3 bulan lalu.” Ujar Hideki pelan. Chizuna tersenyum lebar. Tampak cahaya terang dari kejauhan.

“Ternyata busnya datang juga tuh.” Ujar Chizuna riang.

Bus yang ditunggu telah tiba. Hideki berdiri dan memasukkan majalahnya ke dalam tas. Dia dengan reflek memasukkan saputangan Chizuna yang basah ke dalam kantong jaketnya. Hideki segera masuk ke dalam bus. Namun saat dia berbalik, Chizuna masih duduk di halte tersebut. Tak beranjak sedikitpun.

“Kagami-san, terima kasih...” ujar Chizuna pelan. Airmata mengalir di pipinya.

Hideki mematung di depan pintu bus, menatap seorang wanita yang pernah sangat dicintainya.

Ingin rasanya dia memeluk dan menjaga wanita itu dengan segenap jiwanya.

Namun dia tahu, bahwa kini hal itu sudah tidak mungkin lagi.

Wanita itu telah mengalami trauma mendalam karenanya.

“Nona tidak masuk?” tanya sang supir bus.

“Tidak pak, saya mengantar saja.” sembari setengah berteriak Chizuna menyahut pertanyaan sang supir.

Pintu pun tertutup, membawa Hideki kembali ke kenyataan. Halte bus itu sudah tidak terlihat, namun air mata masih mengaliri pipinya. Dia mengeluarkan sapu tangan dari Chizuna. Dan menyadari bahwa itu adalah saputangan miliknya sendiri. Chizuna memberikannya sebagai hadiah saat masuk SMA, ada sulaman khusus di ujungnya, disana tertulis inisial nama mereka ber 2. Sampai saat ini Hideki masih sangat menyesali semua perbuatannya.

Andai dia mempercayai Chizuna saat itu.
Mungkin saat ini Hideki masih bisa menyelamatkannya.

No comments:

Post a Comment

Umbrella

Sebagai pria yang sudah menginjak usia pertengahan 40, hidupku sudah sangat monoton dan membosankan. Menulis karena pekerjaanku seorang penu...