Seorang pria tampak berdiri di pinggir jalan desa ini, dia menghela nafas panjang sembari memandang ke tebing yang berada jauh di depannya. Baru pukul 5 sore namun jalan raya yang menjadi akses desa sudah tampak
sepi. Tak ada orang maupun kendaraan yang berlalu lalang. Di area persawahan pun para
petani sudah tidak terlihat lagi. Suhu udara terasa semakin dingin.
Matanya masih
menatap nanar ke kejauhan. Proyeknya di tempat ini gagal. Sistem pertanian yang
dikembangkannya tidak berjalan dengan baik. Semuanya kandas di bulan September ini. Bulan yang seharusnya menjadi periode panen, malah menjadi malapetaka untuknya dan juga
para petani yang telah mempercayakan tanah mereka kepadanya. Batinnya mengerang.
Ingin rasanya dia pergi ke tebing tinggi yang terlihat dari tempatnya berdiri,
hanya untuk menghempaskan tubuhnya ke tanah.
Pria itu menghela napas panjang dan menarik
rambutnya kebelakang. Kepalanya sangat pusing. Meski para petani itu mengerti
kalau sistem yang diperkenalkannya bukanlah hal yang biasa dan beresiko. Namun
mereka tetap mempercayai pria itu. Mata pria itu mulai berkaca-kaca. Dia
menahan sesak didadanya. Terlalu banyak kesalahan yang dia lakukan. Seharusnya
dia mencoba sistem tersebut terlebih dahulu menggunakan fasilitas pertanian dan
lahan milik universitas tempatnya bekerja. Kini dia sangat menyesal
sejadi-jadinya karena terlalu percaya diri akan gelar Insinyur dan Doktor yang
disandangnya, serta pengalaman keberhasilannya yang baru 10 tahun. Sedangkan
para petani itu sudah hidup sampai beberapa generasi di tanah ini.
Kesadaran pria itu kembali, yang kini berganti dengan
perasaan rindu akan rumah. Dia ingin segera menumpahkan isi hatinya. Bersandar pada
seseorang yang selama ini membantunya untuk bisa bertahan hidup. Namun langit
tampak tidak bersahabat. Rintik rintik hujan mulai turun dan membasahi
tubuhnya. Dia berlari sekencang mungkin menuju halte bus kecil tempatnya biasa
menunggu bus, satu-satunya alat transportasi ke desa ini. Setiap harinya bus
hanya berhenti 4x. Pukul 7:00, 12:00, 15:00 dan 18:00. Seharusnya
dia belum telat untuk mendapatkan bus terakhir. Sebelumnya jika dia tidak
mendapatkan bus terakhir, dia akan menginap dirumah salah satu warga. Namun dia
tahu, kini sudah hampir tidak mungkin lagi.
Di halte bus itu terlihat seorang wanita yang sudah terlebih
dahulu duduk, rambutnya yang sepundak terlihat sedikit basah. Dia memeluk tas
ranselnya erat karena kedinginan. Pria itu tersontak kaget melihatnya. Sedangkan
wanita itu masih tak sadar dengan keadaan sekitarnya. Dia menaruh tas ranselnya
disamping dan menggulung sedikit ujung celana jeansnya agar tidak terkena
cipratan air hujan. Saat itu pula lampu kecil yang ada di halte itu menyala.
Kini dia bisa melihat pria yang ada disampingnya dengan jelas. Pria itu
menatapnya kaku dan langsung memalingkan matanya.
Dari seluruh makhluk yang
paling tidak ingin dia temui dimuka bumi ini. Wanita ini ada dalam urutan
pertamanya. Tapi pria itu tetap mencoba mempertahankan harga dirinya dan
berusaha untuk tidak menampakkan wajah paniknya di depan wanita itu. Jantungnya
berdegup sangat kencang. Kali ini dia berpikir untuk beranjak pergi saja,
berjalan menembus hujan. Tapi dia masih kepikiran akan laporan milik beberapa mahasiswanya
yang akan basah. Dan dia juga tidak punya tempat singgah. Jadi mau tak mau dia
duduk disamping wanita itu. Memandangi hujan yang turun semakin deras.
Setengah jam berlalu tanpa percakapan apapun diantara
mereka. Berkali-kali pria itu melihat ke ponsel, namun tidak ada signal, tak
ada yang bisa dilakukan. Dia hanya menggeser ke kanan dan kiri isi galeri foto
miliknya. Dia mencoba menyibukkan diri dengan membaca majalah pertanian edisi
terbaru yang dibawanya dari kampus. Sedangkan wanita di sampingnya menatap
kosong lurus ke depan. Resah menunggu bus yang tak kunjung datang. Petir
terdengar menyambar berkali-kali. Jalanan pun terlihat sangat gelap. Punggung
pria itu terasa di aliri dengan keringat dingin. Dia mencoba memberanikan diri
menghadapi kondisi ini.
“Sedang apa… di desa ini?” ujar pria itu kaku, padahal dia
telah memikirkan kata-kata pembuka yang lebih baik daripada itu selama setengah
jam.
“Mengunjungi teman yang baru melahirkan.” jawab wanita itu
ringan tanpa menatap pria yang duduk disampingnya. Dia tak menyangka akan
bertemu pria itu lagi. Setelah bertahun-tahun menyimpan rasa sakit hati
padanya. Namun ternyata, pertemuan di tempat yang asing ini malah tidak
semenyakitkan perkiraannya. Ada rasa rindu yang terpendar saat mendengar
suaranya. Ada rasa sedih juga karena berakhir dengan menyakitkan.
“Siapa?” tanya pria itu penasaran, sekedar asal ada
bahan obrolan saja. Sesak, dia merasa harus terus bicara agar tidak terasa
sakit. Karena melihat wanita itu saja sudah menyakitkan untuknya. Apalagi jika
harus ditelan keheningan bersamanya.
“Matsuzono-san.” Kini wanita itu menatapnya. Wajahnya sedikit
berubah dibanding dahulu. Terlihat lebih pucat dan kusam.
“Keluarga kepala desa?”
“Ya, dia teman kerjaku.” Wanita itu tersenyum sambil
memandangi pria itu lekat. Lalu melanjutkan kata-katanya lagi.
“Proyek Kagami-san disini sekarang?” tanyanya pelan, wanita
itu tak lagi memanggilnya dengan nama kecil atau nama panggilan yang dibuat
khusus untuk nya seperti dahulu. Dia tidak lagi memanggilnya dengan Hideki,
Hide, Hii-kun atau Hi-chan. Terasa aneh mendengarnya menyapa dengan cara
formal, namun memang beginilah yang sepantasnya.
“Iya.” ujarnya datar, menyembunyikan keinginannya untuk
curhat panjang lebar mengenai kegagalannya.
“Sudah lama bekerja disini?” tanya wanita itu kembali.
Kagami memandangnya, wanita itu balas tersenyum kecil. Sudah 3 tahun berlalu
sejak Hideki melihat Takahashi Chizuna. Mantan kekasihnya dan juga sahabatnya
sejak sekolah dasar. Tidak, kini semua itu bukan lagi deskripsi Chizuna pada
diri Kagami Hideki. Kini Chizuna hanya orang asing, yang pernah dia sakiti
sampai sejadi-jadinya, sesakit-sakitnya. Sampai saat inipun Hideki merasa
Chizuna mungkin tidak akan pernah memaafkannya. Namun entah kenapa karena
percakapan ini, dia mencoba sedikit berangan-angan. Jika tidak ada kejadian
itu, apakah mereka masih hidup dalam kebahagiaan seperti dahulu?
“Sekitar 1 tahun 2 bulan” ujar Hideki singkat.
“Oohhh sudah lama juga ya… ngomong-ngomong… apa ada masalah
ya dengan bus terakhirnya?” tanya Chizuna yang terdengar mulai agak panik.
Jam tangannya telah menunjukkan pukul 19:55 dan tidak ada tanda-tanda kehadiran bus
ataupun mobil yang melewati tempat tersebut.
“Tidak tahu juga, bus itu jarang sekali terlambat sampai
selarut ini.”
“Oh ya? Ada kemungkinan bus itu tidak akan datang kah?“
“Mungkin, ini sudah lewat 2 jam dari jadwal.”
“Hahaha, kalau kita sampai terjebak disini, mengerikan juga
ya. Seperti harus menghadapi takdir yang tak bisa dielakkan.” Tawa renyah
Chizuna berganti dengan raut wajah tegang dan serius saat mengutarakan kalimat
terakhir itu.
Hideki tersontak karena kalimat ini. Dia tahu dan yakin
Chizuna tidak akan pernah memaafkannya. Keringat dingin kini mengucur dari
dahinya. Dia tidak tahu harus berkata apa.
“Aku.. tinggal di panti rehabilitasi selama 2 tahun.” Ujar
Chizuna memecah keheningan. Pandangannya nanar menatap ke kejauhan yang gelap. Hideki
hanya bisa terdiam. Dia mendapat kabar tentang Chizuna dan kejadian yang
sesungguhnya terjadi baru 6 bulan yang lalu. Dan saat itu, semuanya sudah sangat
terlambat.
“Setelah kejadian itu, mereka mendiagnosisku memiliki
gangguan mental.” lanjut Chizuna sembari memeluk erat tas ranselnya dan memandang
langit gelap yang tidak lagi menurunkan air hujan.
“Jujur aku juga bingung, kenapa aku masih hidup sampai
sekarang.” tanyanya tanpa berharap jawaban.
Hideki menatap sepatunya, dadanya terasa sesak. Airmata yang
sebelumnya mampu dibendungnya, kini jatuh bercucuran.
“Maafkan… maafkan aku…” ujar Hideki terbata-bata diselingi airmata
yang semakin deras berjatuhan. Chizuna menatapnya nanar. Suara tangisan Hideki terdengar sangat jelas.
“Di hari itu, aku sudah kehilangan semuanya.” ujar Chizuna sembari
membuka ranselnya dan mengeluarkan sapu tangan yang masih kering. Dia
menyodorkannya kepada Hideki.
“Bukan salah Kagami-san juga jika tidak mempercayaiku.
Memang kondisinya yang sangat kacau kan? Aku mengerti kok..” Ujar Chizuna
sembari tersenyum, tangannya masih menanti Hideki mengambil sapu tangan
tersebut.
Hideki menggapai sapu tangan itu, dia merasakan tangannya
bersentuhan dengan tangan Chizuna, sekelebat tragedi pilu itu kembali dalam
ingatannya.
Hari itu, musim gugur 3 tahun lalu, Hideki yang baru saja
kembali dari dinas luar kota, menemukan kekasihnya tergeletak tanpa busana di
ruang tamu. Sedangkan seorang pria yang dikenalnya sebagai tetangga berada di
dapurnya, mengenakan pakaiannya dan meminum bir kalengan miliknya. Tanpa banyak
kata Hideki langsung menghajar pria itu secara brutal, mematahkan beberapa
giginya. Mengusirnya keluar dari apartment miliknya. Dengan emosi yang masih
berada di ubun-ubun dia membangunkan Chizuna yang masih setengah sadar. Memukulinya
juga sampai badannya penuh memar. Menghinanya dengan kalimat-kalimat
menyakitkan yang tak bisa dia tarik kembali. Tanpa tahu kalau kekasihnya itu
baru saja disekap dan diperkosa selama 3 hari dibawah pengaruh obat-obatan yang
diberikan secara paksa.
Chizuna melaporkan kejadian pemerkosaan tersebut kepada
polisi, namun tidak pernah ada kelanjutan proses karena bukti yang kurang.
Parahnya hal tersebut malah jadi bumerang untuk Chizuna sendiri karena
ditemukan kandungan obat-obatan terlarang didalam darahnya. Chizuna pun
dimasukkan ke panti rehabilitasi. Hideki yang saat itu menolak mempercayai
Chizuna, terus dipenuhi dengan amarah. Dia mengeluarkan semua barang Chizuna
dari apartemen dan pindah ke Kyoto 3 minggu setelah kejadian tersebut tanpa
berkomunikasi lagi dengan wanita itu. Hingga sampai pada 6 bulan lalu, ibu Chizuna
datang untuk meminta pertolongannya bersaksi di persidangan.
“Oh ya! Selamat atas pernikahannya ya. Kemarin aku buka instagram dan saat kulihat halaman depan, ada foto-foto pernikahan milikmu.
Indah sekali ya.” Suara Chizuna memecah lamunan Hideki akan memori buruk yang
terputar di otaknya. Mata Chizuna tampak berkaca-kaca. Lampu di halte bus ini
pun mulai meredup. Rasa bersalah itu, akan terus menghantui Hideki seumur hidupnya. Dan
mungkin tak akan pernah hilang sampai dia mati.
“Itu.. sudah 3 bulan lalu.” Ujar Hideki pelan. Chizuna
tersenyum lebar. Tampak cahaya terang dari kejauhan.
“Ternyata busnya datang juga tuh.” Ujar Chizuna riang.
Bus yang ditunggu telah tiba. Hideki berdiri dan memasukkan
majalahnya ke dalam tas. Dia dengan reflek memasukkan saputangan Chizuna yang
basah ke dalam kantong jaketnya. Hideki segera masuk ke dalam bus. Namun saat dia
berbalik, Chizuna masih duduk di halte tersebut. Tak beranjak sedikitpun.
“Kagami-san, terima kasih...” ujar Chizuna pelan. Airmata
mengalir di pipinya.
Hideki mematung di depan pintu bus, menatap seorang wanita
yang pernah sangat dicintainya.
Ingin rasanya dia memeluk dan menjaga wanita itu dengan
segenap jiwanya.
Namun dia tahu, bahwa kini hal itu sudah tidak mungkin lagi.
Wanita itu telah mengalami trauma mendalam karenanya.
“Nona tidak masuk?” tanya sang supir bus.
“Tidak pak, saya mengantar saja.” sembari setengah berteriak
Chizuna menyahut pertanyaan sang supir.
Pintu pun tertutup, membawa Hideki kembali ke kenyataan.
Halte bus itu sudah tidak terlihat, namun air mata masih mengaliri pipinya. Dia
mengeluarkan sapu tangan dari Chizuna. Dan menyadari bahwa itu adalah
saputangan miliknya sendiri. Chizuna memberikannya sebagai hadiah saat masuk SMA,
ada sulaman khusus di ujungnya, disana tertulis inisial nama mereka ber 2.
Sampai saat ini Hideki masih sangat menyesali semua perbuatannya.
Andai dia
mempercayai Chizuna saat itu.
Mungkin saat ini Hideki masih bisa
menyelamatkannya.
No comments:
Post a Comment