Orang tua Shin yang sangat ingin memiliki anak perempuan menerima Sayo dengan tangan terbuka. Setelah kedatangan Sayo, Nyonya Kaga segera menghubungi ibu Sayo yang berada di Kyoto dan menjelaskan panjang lebar mengenai keberadaan anaknya. Toma-san sangat lega mengetahui ada yang akan membantu mengurus anaknya ketika dia bekerja di Kyoto. Dia berinisiatif untuk memberikan uang bulanan kepada keluarga Kaga yang telah membiarkan Sayo menumpang tinggal.
Nyonya Kaga awalnya menolak karena dia ikhlas untuk mengurus Sayo seperti anaknya sendiri. Namun Toma-san bersikeras memberikan uang bulanan tersebut sebagai tanda terima kasih. Jadilah mau tidak mau Nyonya Kaga menerima uang itu dan diam2 dia selalu membelanjakan uang tersebut untuk kepentingan Sayo. Membelikannya baju yang bagus, buku, dll. Shin menganggap ini hal yang natural jika ibunya jadi sangat menyukai Sayo dan menginginkannya menikahi Sayo suatu saat nanti. Tapi sayangnya Shin tidak memiliki perasaan seperti itu pada Sayo. Sayo pun sama. Dia hanya melihat Shin seperti seorang saudara yang membantu menerangi jalannya.
Mereka ber 2 menghabiskan musim panas dengan bermain gitar dan bernyanyi. Entah kebetulan atau memang takdir, namun orang tua mereka sama-sama mengoleksi banyak piringan hitam The Beatles. Mereka jadi cepat akrab karena sering bernyanyi bersama lagu-lagu The Beatles yang mereka sukai. Shin bisa dibilang memiliki suara yang bagus, dia juga ahli memainkan berbagai alat musik mulai dari gitar, organ, cello dan flute.
Sayo sendiri baru mempelajari gitar dari Shin di musim panas ini, namun suaranya saat bernyanyi sangat indah. Shin kadang tertidur bila mendengarnya bernyanyi. Walau tak pernah terang2an mengakui, tapi Sayo adalah penyanyi amatir terbaik yang pernah Shin temui. Sayo sering menyanyikan lagu "I will" The Beatles ketika siang hari. Nyonya Kaga makin menyukainya karena hal itu. Bahkan dia sering mengusulkan agar Shin segera menikahi Sayo setelah lulus. Yang tentu saja langsung di sanggah oleh mereka ber 2.
Awalnya mereka mengira akan bisa hidup dengan tenang seperti itu setidaknya sampai mereka lulus SMU. Namun kecelakaan bus di Fukushima telah merenggut nyawa ibu Sayo. Kini dia hidup sebatang kara di dunia ini, tak ada lagi keluarga tempatnya untuk pulang. Dia pun masih berhutang 50rb Yen kepada para produser AV yang sebetulnya sudah tidak peduli lagi terhadap uang tersebut. Mereka sudah biasa kehilangan perawan potensial. Jadi mereka tidak kaget dengan keputusan Sayo.
Hal itu terjadi ketika mereka kelas 3. Ibu Shin membuat 2 tawaran kepada Sayo, pertama adalah untuk mengadopsi Sayo dan mengangkatnya sebagai anggota keluarga Kaga, kedua menikahinya dengan Shin sehingga gadis itu bisa dengan resmi masuk ke dalam keluarganya. Shin menolak dengan keras tawaran ke 2, dia telah memiliki kekasih dan tak sedikitpun terbesit olehnya untuk menikahi Sayo, dia juga tidak berpikir Sayo akan mau menjadi keluarganya. Sayo yang merasa jadi menganggu kehidupan Shin memutuskan pergi dari rumah itu dan hidup mandiri. Meski tak banyak, namun ibunya memiliki sedikit peninggalan uang. Sayo menggunakan uang itu untuk menyewa apartmen kecil di pinggiran Kamakura.
Dia bertahan hidup sendiri sampai lulus SMU. Namun nyatanya tabungan dari peninggalan ibunya tersebut sudah hampir habis dan dia harus mencari cara untuk mendapatkan uang. Terakhir Sayo bertemu Shin adalah saat audisi pencarian penyanyi di Kamakura. Meski sudah hampir 6 bulan tak bertemu tapi Shin datang ke tempat tinggalnya seperti tidak ada apa-apa. Sayo tak pernah tau dari mana Shin mengetahui tempat tinggalnya. Namun hari itu Shin membawakan selebaran audisi dan memaksa Sayo untuk mengikutinya.
"Tiba-tiba datang menemuiku hanya untuk ini?" tanya Sayo yang masih mengenakan baju tidur sambil menahan pintu. Dia tidak mempersilahkan Shin masuk.
"Ya, ini penting soalnya." ujar Shin dengan tenang. Ada yang berubah, sikapnya yang biasanya heboh dan terlalu bersemangat berganti dengan tutur kata yang tenang dan diiringi senyum tipis. Rambutnya yang biasa panjang menutupi dahi berganti dengan potongan rambut pendek seperti tentara.
"Pasti banyak yang ikut. Aku ga mungkin lolos."
"Dicoba saja." ujar Shin sembari menepuk pundak Sayo. Setelah itu dia langsung beranjak pergi. Sayo mengejarnya.
"Shin tunggu! Aku ingin bicara."
"Ok, kalau gitu sekalian makan siang gimana?"
"Sebentar aku ganti baju dulu."
Mereka ber 2 singgah di sebuah restoran yang sepi. Memesan menu set makan siang dan minuman dingin.
"Mau kuantarkan ikut audisi itu besok?" tanya Shin
"Apa kamu akan ikut juga?"
"Tidak. Kamu saja. Jurinya salah 1 jema'at ayahku. Aku sudah merekomendasikanmu padanya, tapi dia ingin melihat langsung."
"Aah, apakah itu semacam nepotisme?"
"Tidak. Hanya rekomendasi kok."
"Ibu mu apa kabar?"
"Dia sempat sedih lama karena kehilanganmu. Setelah kamu pergi dia juga jadi sering memarahiku dan menyalahkanku."
"Maaf ya."
"Tidak tidak. Memang aku yang salah. Melihatmu tinggal sendiri aku jadi mengerti kekhawatiran ibu."
"Sebetulnya tak ada yang perlu dikhawatirkan, aku bisa hidup dengan baik meski sendiri. Hanya saja, sulit keluar dari himpitan ekonomi. Hahaha."
"Ya, karena itu juga aku datang kesini."
"Mengajakku audisi ini?"
"Kamu punya bakat."
"Itu bukan bukat, tidak ada bagusnya sama sekali, kurasa hanya bisa disebut sebagai hobi saja."
"Tidak kok. Bakatmu istimewa. Lihat saja nanti."
"Apa aku sesekali boleh berkunjung ke rumahmu?"
"Ya, silahkan. Aku sudah pindah ke Hakone sejak lulus SMU. Jadi ibu kadang kesepian. Sekarang dia banyak melakukan pekerjaan sosial di panti jompo. Tapi aku akan sangat berterima kasih jika kamu sudi berkunjung."
"Kamu kuliah di Hakone?"
"Sekolah Seminari. Aku akan menjadi pastor."
"Pastor itu sama seperti ayahmu?"
"Tidak, ayahku pendeta Kristen Protestan dan masih bisa berkeluarga, aku tidak."
"Menjalani misi agama?"
"Ya seperti itulah."
Wajah Sayo tampak kaget. Dia tau laki-laki ini berkata serius.
"Apa ibumu tak apa?"
"Ibuku sudah pasrah dengan keputusanku ini, begitu juga dengan ayahku. Jika aku bisa memutar waktu, aku akan menyutujui ibuku yang ingin mengadopsimu ke keluarga sebagai anak dulu. Memilikiku sebagai anak tunggal dengan kondisi seperti ini akan menghentikan keturunan mereka."
"Tapi apa kamu baik-baik saja? kamu kan punya pacar."
"Sudah lama putus. Aku jarang berhubungan serius dengan seseorang. Bisa dibilang perempuan yang akrab denganku cuman kamu."
"Kamu anggap hubungan kita akrab?" tanya Sayo, wajah Shin jadi terlihat sangat kaget. Dia tidak menyangka hal ini. Sayo yang hampir 2 tahun tinggal bersamanya bahkan tidak menganggapnya teman akrab.
"Ah jadi tidak ya?"
"Aku tidak tau juga, kita jarang membicarakan hal pribadi kan?"
"The Beatles, keluarga, hobi, kurasa itu cukup pribadi. Aku tak pernah membagi cerita-cerita itu dengan orang lain. Anehnya aku bahkan tidak pernah berantem dengan siapapun lagi sejak kamu tinggal dirumah."
"Itu sih karena kamu sudah melewati masa puber dengan lebih cepat. Dan kamu juga melampiaskannya ke pekerjaan sampingan kan? Nge-band bareng Suzuki dll, aku yakin kamu ga berantem lg karena ingin menjaga nama baik band mu juga."
"Jujur emang begitu sih."
"Jadi kmu berhenti nge band?"
"Iya, mau bagaimana lagi, aku harus tinggal di asrama. Kamu juga ga pernah datang ke bar itu lagi."
"Habisnya kukira kamu membenciku."
"Haa? Kok bisa?"
"Karena aku ibumu jadi membenci kekasihmu dan juga menentang hubunganmu dengan dia."
"Aku ga bakal nyalahin kamu karena itu. Lagipula hubunganku dengan dia tidak serius. Kalau ibu ga suka ya sudah putus."
"Bagaimanapun kita ga mungkin menikah."
"Kalau bicara tentang hal itu sekarang, jawabannya iya. Aku tak mungkin menikah dengan siapapun."
"Sebetulnya... aku tak masalah andai saat itu..." ucapan Sayo terhenti.
"AH! Hentikan! Hahaha. cukup cukup... aku mengerti. Tapi tolong jangan buat aku menyesali keputusanku menjadi pastor."
"Ya, kurasa kamu juga tau apa yang ingin aku katakan kan?" ujar Sayo. Wajah Shin memerah seperti kepiting rebus.
"Maksudmu kamu tak masalah jika kita menikah?" tanya Shin memastikan.
"Ya..." jawab Sayo. Kini mereka ber 2 terdiam lama.
"Sayo... cobalah audisi itu. Jika kamu gagal dan tidak jadi penyanyi, aku akan keluar dari sekolah Seminari untuk menikahimu. Namun jika kamu sukses, aku akan meneruskan jalan hidupku sembari terus mendukungmu dan aku tak akan menikah dengan siapapun." ujar Shin sembari menenggak segelas air. Tanpa sadar Sayo mengeluarkan airmata.
"Sebetulnya... kenapa... kamu begitu baik padaku...?" tanya nya sambil tersedu.
"Kamu ingat ladang yang penuh cahaya kunang-kunang itu tidak?" tanya Shin.
"Iya... aku tak mungkin lupa."
"Saat itu, hatiku bertekad untuk selalu melindungimu."
"Hah? cringe sekali! hahaha ya sudah kalau begitu, akan kupastikan aku lulus audisinya karena aku tak ingin menikah denganmu."
"Lhooo? oh ya ya, bisa jg begitu, ya itu juga bisa dijadikan motivasi sih. Siapa juga perempuan yang mau dengan pria cepak ini."
"Tapi aku suka tampilanmu yang seperti ini."
"Kalau aku nya?"
"Hah?"
"Apa kamu pernah menyukaiku?"
"Tentu... tidak." ujar Sayo dengan wajah memerah.
Raut wajah Shin menunjukkan kekalahan. Ya dia tak akan bisa tidak luluh di depan gadis ini. Gadis yang telah dia sukai sejak bangku sekolah dasar.
No comments:
Post a Comment