Sesungguhnya sulit mendefinisikan arti dari pernikahan ideal yang sebenarnya. Membayangkannya mungkin tidak sesulit itu, menikah, tinggal serumah bersama orang yang dicintai, memiliki anak dan menua bersama. Lalu melihat generasi selanjutnya lahir dan tumbuh. Meneruskan silsilah keluarga. Melanjutkan nama yang telah diwarisi turun temurun. Watanabe Satoru sendiri sudah membayangkan hal tersebut jauh sebelum menikahi sang istri. Dia ingin hidup lurus, menjalani pernikahan yang ideal, mencintai 1 wanita saja, memiliki anak darinya, dan melihat anak-anaknya tumbuh dewasa.
Tak masalah jika karirnya mentok seperti ini. Dia sudah cukup puas dengan menjadi kepala cabang di sebuah perusahaan mobil lokal. Target cabangnya tidak begitu besar dan dia bersyukur karena bisa memenuhinya setiap bulan. Setidaknya berkat posisi itu dia tidak khawatir akan masalah ekonomi. Istrinya juga tak harus kembali bekerja setelah menikah. Satoru membebaskan Emi untuk melakukan apapun. Dia membiarkan istrinya melakukan berbagai kegiatan sosial, mengajarkan bahasa isyarat di balai kota dan sekolah luar biasa. Dia tak ingin istrinya bosan, tapi dia juga ingin membuktikan bahwa dia mampu bertanggung jawab akan dirinya.
Emi tidak pernah marah atau mengeluh terhadap sikap suaminya dan juga kondisi pernikahan mereka. Satoru pun mencintai sang istri sepenuh hati. Dia tidak pernah mengeluarkan kalimat yang akan membuat istrinya sedih. Jika dilihat dari luar, mereka mungkin terlihat seperti pasangan biasa. Tapi sebenarnya mereka ber 2 adalah manusia yang memiliki gelombang takdir serupa.
Usia mereka sama-sama 29 tahun. Mereka ber 2 lahir di tahun dan bulan yang sama, yaitu bulan Mei. Sama-sama berasal dari kota kecil yang memiliki pantai, Kamakura dan Hakone. Merantau ke Tokyo sejak lulus SMA. Keluarga mereka sering mengalami kesulitan ekonomi saat mereka masih kecil. Ibu mereka pun sama-sama seorang difabel. Ibu Satoru adalah seorang tuna netra dan ibu Emi adalah seorang tuna rungu. Mereka ber 2 merasa sangat dekat dan terikat oleh takdir 1 sama lain.
Satoru dan Emi adalah pasangan yang sederhana. Disengaja atau tidak, mereka selalu menghindari segala sesuatu yang berhubungan dengan kemewahan. Mereka membeli tempat tinggalnya bersama2. Isinya pun dibeli bersama2. Tidak ada yang berkontribusi lebih banyak atau lebih sedikit saat itu, mereka berusaha menyeimbangkannya. Meski saat ini sudah sulit untuk mempertahankan keseimbangan itu karena kenyataannya, pekerjaan Satoru lah yang menyokong keluarga ini.
Suara detak jarum jam yang menari di kesunyian membuat Emi tersadar akan sesuatu, dia beranjak ke rak dapur untuk mengambil plastic warp, lalu menutupi semangkuk nasi, sepiring ikan makarel bakar dan semangkuk sup miso yang ada di hadapannya sejak tadi. Wanita itu tak begitu berharap Satoru akan pulang hari ini. Sudah 1 tahun belakangan ini Satoru memiliki banyak kegiatan tambahan. Dalam seminggu, Satoru hanya 3 malam saja tidur dirumah ini. Sisanya, kadang lembur bekerja di kantor, kadang dalam perjalanan bisnis, kadang di love hotel bersama seorang pelacur yang disewanya atau kadang bermalam di apartemen wanita simpanannya.
Meski bersikap seperti itu Emi tetap mencintainya.
'Ceklek' suara kunci pintu diputar. Derit pintu yang terbuka lalu tertutup lagi terdengar dengan pelan. Satoru yang baru tiba agak kaget karena lampu ruang tengah dan ruang makan masih hidup. Dia juga menemukan Emi yang masih terjaga di meja makan. "Aku pulang.." ujarnya pelan. "Belum tidur? sudah jam 2 pagi." imbuhnya lagi sembari menaruh tas kerjanya di sofa dan membuka mantelnya. Pria itu tampak tidak mabuk, malah kebalikannya. Dia tampak segar seperti habis mandi. Biasanya jika pulang jam segini, Satoru berada dalam keadaan mabuk atau tidak sadarkan diri. "Oh..selamat datang.. sudah makan malam?" tanya wanita itu. "Sudah tadi." jawabnya singkat. Emi mengangkat piring yang ada di hadapannya, membuka plastic warpnya, membuang kuah sup misonya ke wastafel, lalu membuang nasi dan nori ke tong sampah. Dia memasukan ikan bakarnya ke dalam kulkas dan duduk kembali. "Aku tidur dulu." ujar Satoru sembari masuk ke dalam kamar. Emi hanya menjawab dengan anggukan dan sebuah senyuman tipis. Dia kembali membaca buku yang ada di hadapannya untuk ke 3 kalinya.
Setiap pagi menjelang. Mereka akan kembali tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Satoru tidak pernah membayangkan yang seperti ini sebelumnya. Namun dia sudah terbiasa dengan kegiatan tanpa percakapan antara dia dan Emi di pagi hari. Mereka sudah menikah selama 4 tahun. Sebelumnya mereka sama-sama bekerja. Tak ada waktu untuk saling melayani hal-hal remeh. Jika bisa dikerjakan sendiri mengapa harus merepotkan satu sama lain?
Awalnya mereka memasak sarapan secara bergantian, tergantung siapa yang bangun lebih dahulu. Meski masakan Satoru lebih enak, tapi kini Emi lah yang lebih banyak memasak. Dia bertekad untuk memenuhi perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik. Namun sayangnya dari 30x sarapan pagi dalam sebulan, frekuensi Satoru sarapan di rumah bisa dihitung dengan jari. Hari ini adalah salah satunya. Mereka sarapan bersama tanpa bicara sepatah katapun. Hanya suara pembawa acara tv yang menyiarkan berita dari penjuru dunia yang terdengar di ruangan itu. Emi bahkan tidak tahu apakah Satoru menikmati masakannya atau tidak. Membaca air muka Satoru masih menjadi hal yang sulit meski mereka telah tinggal bersama selama 4 tahun.
Pagi itu segala sesuatunya tampak berbeda. Pernikahan ideal yang menjadi harapan Satoru akan segera berakhir. Emi menyambutnya dengan mengenakan pakaian formal. Setelan celana serta blouse berwarna biru dongker yang sudah lama tidak digunakannya, Satoru ingat setelan itu, sebelumnya Emi sering menggunakannya ketika kencan setelah sepulang kerja. Hari ini Emi juga mem blow rambut sepundaknya yang biasanya hanya dikuncir kuda. Dia memakai make up natural dan lipstik warna peach. Satoru memandanginya lekat. Emi tidak terlalu cantik secara general, tapi isi wajahnya tampak sangat sesuai, hidungnya yang kecil, matanya yang bulat, alisnya yang turun serta bibir yang tipis, meski melihatnya dari jauh pun, Satoru bisa mengenali Emi dengan baik.
Satoru sendiri memiliki wajah tipikal pria Jepang biasa dengan mata kecil yang tajam, rambutnya tidak mewakili model tertentu, dia membiarkan bagian depan rambutnya jatuh ke dahi, tingginya 182cm. Dia sangat cocok menggunakan setelan jas. Dia cocok dengan posisinya sebagai kepala cabang sebuah perusahaan mobil lokal. Dan dia juga cocok dengan Emi. Dulu saat mereka memutuskan untuk berkencan, teman-teman mereka sangat mendukung hubungan mereka. Karena itu juga tanpa berlama-lama mereka langsung berencana menikah setelah 1 tahun berkencan.
Namun kenyataan kadang tidak selalu sejalan dengan harapan.
"Satoru.. tentang yang telah kita bicarakan sebelumnya..." ujar Emi sembari membereskan meja makan dan menaruh piring serta gelas di wastafel. Nada bicaranya datar, tatapannya fokus pada piring2 tersebut.
"Aku mengerti." ujar Satoru memotong perkataan Emi, dia tidak kaget, tidak begitu peduli, tidak juga melihat ke arah Emi. Matanya tetap terpaku pada tv yang sedang menyiarkan berita virus corona.
"Aku akan mengambil formulirnya di kantor sipil nanti siang." ujar Emi kembali sembari mencuci piring.
"Maaf, jadi merepotkan." Satoru berdiri dan mengambil jas serta tasnya.
"Tidak kok. Aku akan mengajar di balai kota hari ini. Jadi bisa sekalian karena sejalan."
"Baiklah. Aku berangkat duluan kalau begitu." kini Satoru sudah memakai sepatunya dan berdiri di belakang pintu. Dia terdiam sebentar.
"Kemarilah.."
Emi melap tangannya dan menghampiri pria itu ke pintu. Dia tampak bingung. Namun Satoru mendekat dan memeluknya, lalu mendaratkan bibirnya di atas bibir Emi dan mengecupnya perlahan serta dalam.
"Maafkan aku." ujar Satoru, wajahnya memerah karena malu. Emi tergelak melihatnya.
"Berangkatlah, nanti kamu terlambat." Emi mendorong tubuh Satoru ke arah pintu dan membukakan pintu untuknya. Satoru menatap istrinya dengan nanar sebelum pergi. Tatapannya seakan berkata 'aku tak ingin ini berakhir'.
Satoru sangat mencintai Emi, dengan segenap hatinya. Baik 4 tahun yang lalu ataupun hari ini. Kehidupan mereka berjalan lambat tanpa pernah ada pertengkaran berarti. Tidak ada keributan dalam kegiatan sehari-hari mereka. Mereka juga tidak pernah berselisih paham. Atau menonjolkan egoisme satu sama lain.
Tapi sayangnya, 3 bulan setelah pernikahan, Emi tak pernah membuatnya orgasme lagi. Setiap bercinta, baru foreplay saja wanita itu sudah lemas, sampai-sampai tertidur atau pingsan. Otot vaginanya menolak dengan keras untuk dimasukkan. Satoru menjadi frustasi karena kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi oleh istrinya sendiri. Jika memaksakan melakukannya tanpa foreplay, vagina wanita itu kering dan Satoru akan sulit memasukkan penisnya. Pernah sekali terjadi, dan Satoru tak ingin lagi. Rasanya seperti melakukan pemerkosaan. Itu sangat menganggunya.
Emi menyalahkan dirinya karena kondisi hubungan seksual mereka yang tidak berjalan lancar. Dia sadar dia tak bisa memenuhi kebutuhan seksual Satoru. Emi menjadi sangat minder dan merasa dirinya adalah jenis wanita yang paling tidak berguna di muka bumi ini. Mereka sudah berkonsultasi ke berbagai dokter. Namun jawabannya selalu sama, mereka merujuk ke Emi yang punya gangguan psikologis dan stamina yang lemah. Hal itu membuat Emi makin depresi dan tidak bisa melakukan hubungan seksual lagi. Sampai saat ini sudah 3 tahun lebih mereka tidak berhubungan. Satoru pun mulai berkencan dengan rekan kerjanya, Adachi Rinko.
Emi menyadari hubungan mereka ketika mengangkat telepon dari wanita itu di ponsel Satoru 8 bulan yang lalu. Adachi yang tidak tahu bahwa Emi yang mengangkat telepon, mengatakan dengan jelas tentang jam dan dasi Satoru yang tertinggal dikamarnya. Namun anehnya setelah panggilan telepon itu Emi malah merasa lega karena mengetahui suaminya masih bisa berhubungan normal dengan wanita lain.
Setelah proses pendaftaran perceraian yang berakhir dengan damai tanpa ada perebutan harta gono gini. Emi memutuskan untuk kembali ke rumah kelurganya di Kamakura. Satoru sendiri tetap tinggal di apartemen tersebut karena terletak tak jauh dari kantornya. Dia telah mengembalikan uang deposit yang dulu diberikan Emi untuk patungan membeli apartemen itu beserta isinya. Begitu juga dengan uang tanggung jawabnya sebagai mantan suami.
Dan untuk pertama kalinya mereka menyadari bahwa mereka tidak akan bersama lagi, tidak tinggal dalam satu atap yang sama dan tidak lagi menjalani keseharian bersama-sama. Satoru tidak tahu harus merasa lega karena bisa memulai hidup baru atau sedih karena kehilangan wanita yang selama ini bersamanya. Satoru sudah merasakan sesak ini sejak Emi membuat keputusan tersebut. Namun dia tak bisa melakukan apa-apa. Yang terbaik untuk Emi adalah yang terbaik untuknya juga. Rasa cintanya pada Emi tak akan berubah. Dia berharap frustasi yang mereka ber 2 rasakan bisa menghilang. Lalu mereka bertemu lagi dan menjadi 2 orang dengan hubungan yang berbeda.
"Aku akan pindah besok." ujar Emi sembari membereskan barang2nya di dalam kamar.
"Besok? mendadak sekali." Satoru yang kaget menghentikan langkahnya di depan pintu kamar.
"Iya, kurasa lebih cepat lebih baik. Aku tak membawa banyak barang, hanya baju dan barang2 pribadiku. Jadi tidak ribet."
"Aku akan membantumu besok."
"Tak usah, aku tak ingin merepotkan."
"Tidak repot. Akan kuantarkan sampai ke rumahmu di Kamakura." ujar Satoru setengah memaksa.
"Tak apa? besok kan hari kerja."
"Ya tak apa. Lagipula kita harus menjelaskan keadaan ini bersama2 pada ibumu." ujar Satoru sembari memandangi boneka koala yang terletak di meja rias Emi.
"Tidak bawa ini?" tanya Satoru kembali sambil memperlihatkan boneka koala itu kepada Emi.
Emi mengambilnya, lalu terdiam agak lama memandanginya.
"Dulu.. aku membelinya karena berpikir.. jika kita punya anak... aku ingin dia menyukai koala jg sepertiku.. koala itu binatang yang sangat manis... mereka tinggal dipohon dan kerjanya hanya mengunyah daun.. lalu setelah itu tidur sepanjang hari.. haha. Manis kan?" Emi memandang boneka itu dengan senyuman getir. Satoru hanya terdiam memandanginya, dari sorot matanya dia bisa melihat keputus asaan yang wanita itu rasakan. Kalimat "jika kita punya anak" itupun membuatnya sangat sesak. Betapa ingin dirinya untuk memiliki anak dari wanita yang dicintainya itu. Namun dia tahu hal itu kini tak mungkin terjadi.
Esoknya Satoru berinisiatif untuk bangun lebih pagi. Dia membereskan barang2 Emi dan mengangkutnya ke dalam mobil. Jika Emi sudah bangun prosesnya akan jadi lebih rumit karena Emi pasti akan melarang, 'takut merepotkan' katanya. Emi yang baru terbangun sekitar pukul 8 pagi hanya bisa pasrah melihat barang2nya sudah diangkut ke dalam mobil. Dia langsung berganti baju dan mempersiapkan diri untuk berangkat. Dia memastikan sekali lagi keseluruh ruangan agar tak ada barang penting yang tertinggal. Satoru menelpon ke kantor untuk mengambil cuti. Anak buahnya terdengar kaget dan ketakutan. Bagai anak ayam yang dilepas induknya, mereka menjabarkan hal-hal penting yang tidak bisa dilakukan tanpa Satoru. Satoru hanya bisa minta maaf dan menjelaskan bahwa keperluannya hari ini sangat penting. Satoru sendiri tidak membicarakan mengenai perceraiannya pada siapapun. Hanya dia, Emi dan Rinko yang tahu.
Mereka ber 2 berangkat ke Kamakura pukul 9 pagi. Jarak Kamakura memang tidak terlalu jauh, hanya 1 setengah jam perjalanan menggunakan mobil. Karena itu bagi Satoru tentu saja ini tidak merepotkan. Mereka sudah sering bolak balik kesana untuk mengurus ibu Emi. Tapi perjalanan kali ini berbeda. Satoru akan kembali seorang diri ke Tokyo. Mungkin juga setelah ini dia tidak akan bertemu Emi lagi. Mungkin saja wanita itu akan bertemu pria lain, yang mengerti kondisinya, menerimanya apa adanya dan lebih mencintainya daripada Satoru. Satoru mengendarai mobil itu dan menatap kosong ke legangnya jalan raya. Tak ada yang mencoba membuka percakapan. 1 jam itu diisi dengan keheningan yang dalam.
Namun saat mereka memasuki jalur pantai Kamakura. Emi meminta untuk berhenti dan mengajak Satoru untuk berjalan menyusuri pantai. Suara ombak terdengar sangat riuh, anginnya sedang kencang, wangi lautan menyerebak di indera penciumannya. Satoru rindu, dia sangat merindukan wanita yang ada disampingnya. Dia tahu dirinya telah melakukan banyak kesalahan, dia berselingkuh dengan rekan kerjanya di kantor, dia sering tidak pulang ke rumah karena sudah tinggal bersama wanita lain, dia tidak pernah peduli terhadap Emi, dia tidak pernah melakukan hal-hal untuk membahagiakan Emi, dia hanya menghabiskan banyak uang untuk menyewa kamar hotel beserta dengan para pelacur. Frustasi terhadap hubungan seksual itu membuat dia sulit untuk merasa puas. Syaraf dan tubuhnya tegang, sulit merasa rileks. Berbagai cara yang ekstrim dilakukan hanya untuk merasa bahagia. Namun nyatanya dia tetap tak pernah merasa bahagia, yang muncul malah keinginan untuk mengakhiri hidup.
"Aku ingin ke pantainya. Mau ikut?" Emi sudah membuka pintu mobil dan berjalan ke arah tangga untuk menuju daerah pantai. Satoru segera menyusulnya.
"Sudah lama kita tidak kesini." ujar Satoru sembari berdiri disamping Emi. Wanita itu menghirup nafas panjang dan meregangkan tubuhnya. Menarik kedua tangannya kebelakang. Memejamkan matanya.
"Lautan nya seperti membisikkan sesuatu." ujar Emi, matanya masih terpejam.
"Ha? Aku hanya bisa mendengar suara ombak saja." ujar Satoru, dia melangkah ke depan dan memasukkan kakinya ke dalam air. Dia menggunakan sandal, jadi tidak masalah meski basah. Dia tak menggulung celananya, membiarkannya saja basah seperti itu. Diterpa ombak dan pasir. Dia juga tidak begitu peduli akan hal itu. Emi menghampirinya dan memeluknya dari belakang.
"Lautan seakan mengutusku untuk menyampaikannya padamu." ujar Emi dengan suara yang lirih, Satoru berbalik dan memeluknya dari depan. Dulu mereka sering berpelukan seperti ini dalam waktu yang sangat lama. Rasanya terlalu nyaman dan menenangkan. Satoru tak bisa membayangkan jika tak bisa melakukannya lagi.
"Apa yang lautan katakan?" tanya Satoru.
"Sini menunduk, akan kubisikkan padamu." ujar Emi sembari menarik pundak Satoru dan mendekatkan bibirnya ke telinga Satoru.
"Selamat ya.. kamu akan menjadi seorang ayah." bisik Emi, Satoru refleks menatapnya, senyum Emi mengembang lebar. Satoru terbelalak kaget. Bibirnya terkunci kaku, dia tak mampu berkata apa-apa. Emi telah mengetahui rahasia besar yang disimpannya rapat-rapat.
"Aku bertemu dengan Adachi-san 3 bulan yang lalu, saat itu usia kandungannya baru 4 bulan. Kami ngobrol banyak, dia menjelaskan semuanya sesuai dengan kronologis kejadian, dari awal sampai saat itu. Dia wanita yang pintar, lembut dan pengertian. Saat itu dia tidak bisa membuat keputusan akan janin tersebut, dia mencintaimu tapi statusmu adalah suamiku. Dia jadi sangat tersiksa dan aku tau.. kamupun sudah lama tersiksa. Sedangkan aku.. aku malah hidup dengan tenang bagai benalu yang kerjanya menghisap kebahagiaan orang lain. Saat itu aku memintanya untuk mempertahankan janin itu. Memiliki anak adalah impian Satoru, ujarku padanya. Aku pun menetapkan hati, aku memutuskan untuk berhenti jadi benalu dalam hidupmu."
Emi menatap nanar bola mata Satoru. Suaranya terdengar menyatu dengan ombak. Air mata mereka sama2 mengalir melewati pipi. Emi ingin memeluk pria itu erat. Namun dia menahan diri, agar tetap teguh pada perpisahan ini. Satoru ambruk, dia berlutut di pasir. Terdiam lama. Emi turut berlutut di pasir. Dia membungkuk dan menengadah ke wajah Satoru yang masih menunduk. Lalu mendaratkan ciuman lembut ke bibir pria itu.
"Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja." bisik Emi tepat di telinga Satoru, suaranya terdengar lirih. Satoru memeluk Emi erat.
"Sekali ini saja, sebelum kita berpisah. Aku mohon. Pukul aku, maki aku, marahlah padaku, hina aku. Aku pantas mendapatkan itu semua." ujar Satoru, kalimatnya terpotong, Emi mencium bibir pria itu dalam.
"Aku ingin kamu bahagia. Cintaku padamu tidak berubah sejak kejadian di lift itu. Kamu kan penyelamat nyawaku. Haha." Emi tertawa kecil mengingat pertemuan pertama mereka saat terjebak di dalam lift.
"Emi..."
"Oh! Lautan mengatakan sesuatu." Emi menatap Satoru lekat sembari tersenyum getir.
"Sesuatu?"
Emi membisikkan pesan dari lautan tersebut.
"Selamat tinggal...Satoru..."
No comments:
Post a Comment