Malam semakin larut. Cahaya kunang-kunang menerangi hamparan ladang rumput ini. Seorang wanita tampak merebahkan diri dengan tenang di diatasnya. Tubuhnya dingin. Matanya menatap kosong ke kejauhan. Rambut panjangnya tergerai di atas tanah, membentuk pola tidak beraturan yang indah. Lagu "I will" milik The Beatles terdengar mengalun berulang kali dari ponsel yang terletak di sampingnya.
Sundress kuning yang dikenakannya dipenuhi percikan darah. Tubuh ramping itu tidak bergerak sama sekali. Pergelangan tangan kirinya masih mengeluarkan darah segar, sedangkan tangan kanannya menggenggam sebuah pisau cutter yang berlumuran darah. Kehangatan yang dimiliki tubuh itu telah menghilang perlahan bersamaan dengan matahari yang terbenam. Saat malam tiba, yang tersisa hanyalah seonggok tubuh tak bernyawa. Meninggalkan banyak kenangan dan perpisahan.
"And when at last i found you,
your song will fill the air..."
suara riang Paul McCartney terhenti, ponsel itupun akhirnya mati karena kehabisan baterai.
Waktu seakan kembali ke 15 tahun lalu.
Di sebuah hamparan ladang rumput yang luas, di tengah malam, untuk pertama kalinya gadis itu mengenal cahaya yang bernama harapan.
"Aku ga tau apa aku bisa membantumu, tapi aku akan berusaha menjelaskannya pada orang tuaku. Aku yakin mereka akan memperbolehkanmu menginap untuk beberapa hari. Setelah itu aku akan menolongmu mencari tempat tinggal yang aman." ujar seorang lelaki remaja yang duduk disampingnya.
Umur mereka sama2 17 tahun. Mereka ber 2 bersekolah di tempat yang sama. Namun anehnya, ini adalah kali pertama mereka saling berbincang. Yang laki-laki adalah seorang berandalan sekolah yang sering terlibat perkelahian dengan berandalan sekolah lain dan yang perempuan adalah gadis pendiam yang jarang masuk sekolah. Meski begitu dia bukanlah gadis kuper dengan rambut kepang 2 dan kacamata tebal, gadis itu tampak selalu penuh gaya dan modern. Rambutnya di cat coklat. Rok sekolahnya pun selalu diatas dengkul. Sudah bertebaran berbagai rumor tentangnya sejak pertama masuk SMU, mulai dari punya kekasih mahasiswa Tokyo, menjual diri pada hidung belang sampai pernah aborsi 3x. Tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Laki-laki itu tidak begitu peduli. Dia juga tidak tertarik pada gadis ini. Yang dia tahu saat ini adalah dia harus menyelamatkan gadis ini dari orang-orang yang ingin memukulinya.
Nafas mereka masih terengah-engah. Gadis itu tak mampu berlari lagi. Sudah hampir 3 km mereka berlari dengan sekuat tenaga. Dia menatap erat laki2 disampingnya dengan sinis. "Kamu tidak takut mereka akan mencari mu juga? kamu sudah melibatkan dirimu pada sesuatu yang berbahaya!" tuding gadis itu.
"Lalu kenapa memangnya? jika dalam kondisi seperti tadi memang menurutmu aku harus bagaimana? kan kamu sendiri yang berteriak minta tolong." ujarnya sedikit kesal karena gadis itu bukannya berterima kasih malah marah2, membuatnya sadar akan situasinya yang jadi terancam. "Sudahlah tenang. Yang penting mereka tidak memukulimu lagi." lanjutnya.
"Aku menipu mereka." ujar gadis itu singkat, memecah keheningan malam.
"Hah!?" laki2 disampingnya tampak tercengang.
"Iya, mereka sebenarnya menawariku menjadi bintang AV dari production house mereka. Mereka telah memberiku uang muka 50rb Yen. Tapi aku berubah pikiran dan lari. Aku tidak berani melakukannya. Aku ga pernah pacaran dan tidur sama cowo. Gimana aku bisa jadi bintang porno? Membayangkannya saja aku ga bisa." ujarnya panik.
"Lalu kenapa saat ditawari mau?" tanya laki2 itu sembari menyeka keringatnya dengan sapu tangan.
"Ya karena aku butuh uangnya." jawab gadis itu polos, dia menguncir 2 rambutnya yang ikal sepunggung.
"Astaga, kamu tolol ya?" laki2 itu membanting sapu tangannya.
"Tidak kok, ya aku kan tadinya mau melakukannya." ujar gadis itu menyanggah.
"Sekarang gimana? karena kamu berubah pikiran, jadi masalah kan? kalau gitu kembali saja. Bilang kamu akan menjadi bintang AV. Lalu minta maaf tentang hari ini. Dah, kelar. Kamu dapat uang dan tak ada masalah lagi." laki2 itu melepaskan sepatunya dan merebahkan tubuhnya di rerumputan.
"Menurutmu aku lebih baik jadi bintang video porno begitu?" tanya gadis itu dengan tatapan nanar.
"Kamu telah berjanji pada mereka, ya menurutku akan lebih baik kalau kamu tepati. Aku ga bakal nonton juga kalau video itu keluar. Tenang aja. Tapi kalau kamu tanya apakah aku setuju dengan pekerjaan seperti itu, jawabannya adalah tidak. Tapi balik lagi, urusanmu ya urusanmu. Ga ada sangkut pautnya denganku." ujarnya sembari menutup mata, dia menarik nafas panjang. Gadis itu memeluk erat ke 2 kakinya.
"Kamu pernah melakukan hubungan sex?" tanya gadis itu tiba2.
"Ya, pernah." jawab laki2 itu singkat.
Dia teringat pengalaman pertamanya tidur dengan seorang wanita, dan wanita itu adalah satu2nya wanita yang pernah dia tiduri. Usia wanita itu 10 tahun lebih tua darinya. Bekerja sebagai penjaga toko CD di kota itu. Awalnya mereka dekat sebagai teman menonton film. Tapi lama2 batasan itu hilang dan mereka mulai menjamahi tubuh 1 sama lain. Mereka berpacaran sekitar 6 bulan. Namun tiba2 wanita itu pindah ke Osaka tanpa alasan khusus. Dan mereka pun putus.
"Apa menurutmu sex adalah hal yang spesial? jika aku menjadikan sex pekerjaan apakah tak apa?" tanya gadis itu, ada kebimbangan di setiap kata2nya.
"Hey, kenapa tiba2 malah mengatakan akan menjadikan sex pekerjaan? emang setelah jadi bintang porno kamu mau melacur gitu? ga perlu gitu kan juga bisa. Kalau melacur itu sama aja dengan ngancurin diri sendiri. Sex ga spesial klo dilakuin tanpa perasaan. Ngerti ga?"
"Perasaan?" tanya gadis itu kikuk.
"Ya cinta lah. Orang biasanya saling jatuh cinta dulu, terus pacaran, lalu akhirnya menikah. Nah didalamnya terdapat hubungan sex yang bisa dibilang spesial. Kalau cuman keluar masuk lobang aja tanpa perasaan ya itu namanya pelampiasan." jelas laki2 itu yang mulai gemas dan kesal akan kebodohan gadis ini.
"Aku ga pernah ngerasain cinta." ujar gadis itu.
"Wajar sih, umur mu kan baru 17 tahun. Hidupmu masih panjang. Ngomong2 kalau kamu ga mau jadi bintang AV mereka, balikin aja uangnya. Nanti kutemenin ngomong ama mereka. Abisnya kukira kamu cewe yang berani. Ternyata..." perkataan laki2 itu terpotong.
"Tapi uangnya sudah kupakai."
"Hahhh, kalau gitu cari lah gantinya. Makanya kalau punya masalah itu jangan lari, tapi dihadapi. Bilang pada mereka kamu akan menggantinya meski butuh waktu."
"Bisakah?"
"Bisa! Mereka kan production house legal. Kalau belum ada kontrak berarti belum ada perjanjian. Begitu, bodoh!" laki2 itu bangun dan menempeleng kepala gadis itu.
"Akan kucoba bicara dengan mereka." ujar gadis itu, wajahnya jadi memerah karena sadar akan kebodohannya.
"Ya sudah, sekarang mau pulang ke tempatku dulu ga? Kalau ke rumahmu udah kejauhan dan ini udah tengah malam. Sepedaku juga sedang rusak." ujar laki-laki itu sembari berdiri, tangannya gatal karena digigiti nyamuk.
"Kamu tau rumahku?" tanya gadis itu sembari menyusul.
"Waktu kelas 1 kan kita sekelas. Aku pernah ke rumahmu mengantarkan catatan. Taunya kamu ga sakit tapi lagi bolos."
"Maaf."
"Ngapain juga minta maaf, udah lama ini kejadiannya."
"Tapi sampai sekarang aku masih merepotkanmu.
"Engga, ga repot." ujar laki2 itu yang sudah berjalan lebih dahulu di depan.
"Eh, kamu tau namaku ga?" lanjut laki2 itu lagi sembari berbalik.
"Hah?"
"Ah, pasti ga tau ya?" tanya laki2 itu sembari mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.
"Tau kok... Kaga-san kan?"
"Nama kecilku?"
"Tidak tahu."
"Aku Kaga Shin."
"aku..."
"Aku tau, kamu Toma Sayo." ujar Kaga sembari memotong perkenalan Sayo yang tak perlu. Dia sudah mengingat nama gadis itu sejak pertama masuk sekolah.
"Maaf, aku jadi merepotkanmu."
"Udah dibilang, engga repot."
Mereka pun berjalan pelan menyusuri jalan setapak di pinggir sungai untuk menuju tempat dimana Shin tinggal. Sayo menatap punggung Shin lekat. Betapa dia sangat mensyukuri kehadiran laki2 itu saat ini. Meski singkat namun kenyataan bahwa ada seseorang yang masih peduli padanya di dunia yang dingin dan tak bisa ditebak ini sangat melegakan.
"Oh ya, ayahku misionaris. Jadi keluarga ku bisa dibilang penganut agama yang ta'at. Tolong jangan sampai menyinggung tentang hobiku di sekolah ya?" ujar Shin sambil tertawa. Sayo hanya mengangguk pelan tanda mengiyakan.
(lanjut ke part 2)
No comments:
Post a Comment