Sebagai pria yang sudah menginjak usia pertengahan 40, hidupku sudah sangat monoton dan membosankan. Menulis karena pekerjaanku seorang penulis, makan agar aku punya tenaga untuk menulis lalu sisanya adalah tidur agar aku tidak kehabisan inspirasi untuk menulis. Jam kerjaku tidak menentu. Tidur itu sudah seperti oase hidup yang bisa kuraih dengan mudah. Saat tidur biasanya aku mendapat inspirasi untuk menulis dan juga untuk melanjutkan hidup. Metode tidurku pun bermacam-macam, tolong dimaklumi karena aku belum menikah, partner tidurku selalu berganti. Tak ada yang permanen atau bertahan dalam jangka waktu panjang. Aku tidur bersama seseorang maksimal hanya 3 kali. Setelah 3 kali aku tak akan pernah menemui mereka lagi, mau itu wanita, pria, muda atau lansia. Aku tak begitu peduli. Jika sudah 3 kali aku pasti akan memutuskan kontak dengan mereka.
Kalau ditanya apa alasannya, tentu karena aku masih mencari bahan inspirasi. Manusia adalah sumber daya inspirasi yang tak terbatas. Aku menghargai mereka sebagai sumber inspirasiku. Tapi jika ditanya apa aku akan terus begini. Tidak berkomitmen sama sekali. Jawabannya iya. Karena itu banyak dari mereka yang menyangka aku tidak menghargai manusia. Aku tak begitu ambil pusing dengan pendapat mereka, memang terlihat seperti itu, meski nyatanya tak seperti itu. Jadi jika mereka pergi dengan salah paham itu akan lebih baik untukku. Tenagaku jadi tidak perlu terbuang sia-sia untuk menjelaskan hal yang ujung-ujungnya hanya aku sendiri yang mengerti.
Kebanyakan dari teman tidurku adalah para 'penggemar'ku. Aku seorang penulis yang bisa dibilang sudah banyak dikenal. 6 novel kriminal yang kutulis diterbitkan dalam rentang waktu 10 tahun. 2 diantaranya telah diadaptasi menjadi drama tv. Pemainnya adalah para aktor dan aktris yang sedang naik daun. Mereka mendapat banyak pujian berkat memerankan karakter-karakterku. Sedikit banyak aku cukup bahagia karena berkat kesuksesan drama tv itu, penjualan novel ku yang lain juga meningkat pesat. Padahal dulunya buku-buku lamaku hanya diletakkan di rak paling bawah. Sekarang sudah dipajang di bagian best seller bersama dengan karya penulis ternama yang lebih senior. Kadang bersanding juga dengan buku remaja yang sedang naik daun. Sudah 2 tahun belakangan ini aku tak perlu mengkhawatirkan masalah uang. Meski aku tidak menerbitkan novel lagi aku masih bisa hidup sampai 30 tahun kedepan tanpa bekerja. Dengan catatan, itu kalau aku tidak berjudi dan hanya mempergunakan uang tabungan tersebut untuk makan sehari-hari. Tapi nyatanya aku tak bisa hidup tanpa menulis.
Tepat seminggu yang lalu aku menyelesaikan novel terbaru setelah 2 tahun bergelut dalam cerita didalamnya. Aku cukup puas meski masih ada yang mengganjal. Sampai saat ini aku belum menemukan cerita sejenis diluar sana. Dan aku khawatir dengan bagaimana reaksi orang lain ketika membacanya. Cerita di dalam novel itu sebetulnya dibuat dengan hasrat ingin memuaskan dahaga ku sendiri. Untungnya editorku menyukainya, padahal kalau tidak pun tak apa. Aku akan menyimpannya untuk diriku sendiri. Di arsipkan, atau di cetak mungkin, 3 kopi. 1 kuberi pada ibuku. 1 pada asisten rumah tanggaku dan 1 lagi akan kusimpan baik-baik. Tidak jadi uangpun tak apa. Namun bagi editorku adalah sebaliknya. Penerbit tidak mungkin melewatkan bibit uang ini. Meski dia terlihat tidak begitu mengerti cerita di dalamnya. Tapi katanya asal namaku ditampilkan di depan cover, dia merasa itu sudah menguntungkan. Aku tak menolak. Aku harus menjaga hubungan baik dengan penerbit buku ku. Mereka orang-orang baik. Mereka juga memperlakukanku dengan sangat santun layaknya penulis senior. Mungkin saja karena aku adalah asset mereka. Namun kuakui, mereka adalah sumber uangku juga. Aku ingin simbiosis mutualisme ini terus berlanjut. Dulu saat aku terpuruk dalam gemerlapnya dunia literatur, mereka mau menerima karya ku yang bagai pahatan batu kasar.
Sore ini aku punya janji dengan seseorang di restoran Itali yang dekat dengan kantor penerbit. Sudah 1 tahun lebih aku tidak bertemu dengan orang ini. Tidak ada hubungan spesial antaraku dan dia, murni hubungan profesional. Aku tak pernah tidur dengannya atau mencoba mendekatinya dengan godaan ke arah seksual. Tapi mungkin karena itu juga aku jadi tidak punya alasan untuk putus hubungan dan hilang kontak dengannya. Aku mengenal Gotou Hisashi 7 tahun lalu, ketika menerbitkan novel ke-2 ku. Saat itu dia masih seorang ilustrator freelance untuk kantor penerbit. Karena aku bisa dibilang penulis kelas bawah, bahkan untuk urusan sampul novelku pun diserahkan pada orang yang tidak berpengalaman. Begitu pikirku dulu. Namun nyatanya pria yang selalu berjalan dengan sebelah kaki terseret ini adalah pria yang cemerlang. Brilian, ilustrasinya mewakilkan perasaanku saat menulis. Ternyata setelah mengenalnya aku baru mengetahui, sebelum mendesign sampul novel atau buku lainnya, dia selalu membaca terlebih dahulu semua isinya sampai habis. Pantas saja dia bisa dengan baik menginterpretasikan karya ku. Tidak seperti ilustrator lainnya yang biasanya hanya mengetahui isi dari sinopsis saja. Sejak saat itu kadang aku bertemu dengannya untuk mengobrol tentang karya kami. Dia adalah pembaca yang baik, seseorang yang bisa menangkap arti dari semua yang tersirat. Aku cukup nyaman bicara dengannya. Meski sampai saat ini aku tetap tidak tahu apapun tentang dirinya, dia tak pernah membicarakan hal selain karyaku dan karyanya. Hubungan profesional itu bisa dibilang hanya sebatas hubungan pekerjaan.
Dia datang lebih cepat 2 menit dari waktu janji bertemu. Meski begitu karena dia berpikir telah telat, dia mulai menunjukkan tanda-tanda anxiety nya yang kambuh. Namun aku kembali mencoba meyakinkan bahwa dia masih datang lebih cepat dari waktu temu, jadi tak perlu sungkan. Sebelah kaki Gotou tidak berfungsi dengan baik, dia pincang. Siapapun akan maklum jika dia terlambat. Meski tidak perlu sampai harus memakai kursi roda tapi terlihat jelas dia memiliki masalah yang berat pada dirinya karena si kaki kiri. Saat berjalan dia harus menyeret sebelah kakinya dengan pelan. Pemandangan tersebut akan membuat iba siapapun yang melihatnya.
Gotou sendiri adalah pria yang rapi. Dia selalu mengenakan pakaian formal saat bertemu denganku. Seperti saat ini, setelan jas abu-abu, dasi biru tua dan menenteng tas map berisi contoh sampul yang telah dia design. Rambut nya di belah ke samping kanan dan diberikan sesuatu agar tidak turun menutupi dahinya. Minyak rambut atau gel mungkin. Tidak ketinggalan dia juga selalu membawa payung lipat berwarna hitam. Tinggi Gotou sekitar 185cm, dia tampak 10cm lebih tinggi dariku. Sangat mencolok tentu. Rata-rata tinggi pria Jepang adalah 170,7cm, aku saja sudah lebih 5cm dari rata-rata pria. Dan dia lebih tinggi lagi. Sebagai pria di awal 30an Gotou bisa dibilang cukup tampan dan low profile. Tidak pernah berbicara dengan nada lantang. Nada bicaranya selalu teratur, bahkan tertawanya pun tidak pernah terbahak-bahak. Tipikal gentleman jaman modern. Ya mungkin aku agak bias karena aku mengagumi karyanya juga, bukan hanya penampilan luarnya. Dia pria yang ambisius dan genius sebagai ilustrator. Di novel ke 3 ku, dia menggambar 8 halaman ilustrasi. Sampai sekarang novel ke 3 ku tetap menjadi favorit banyak orang. Mungkin karena ada ilustrasi Gotou juga di dalamnya.
"Lama tak jumpa Iijima-san. Apa kabar?" ujarnya pelan sambil meletakkan tas mapnya dan mengeluarkan isinya.
"Begini-begini saja, tak ada yang spesial. Setiap hari kudedikasikan hanya untuk menyelesaikan 'Outer God' dirumah."
Ya, novel terbaruku berjudul 'Outer God' genre sci-fi, distopia dan horror.
"Tapi nyatanya anda menghasilkan sesuatu yang spesial. Menurutku 'Outer God' ini adalah novel anda yang paling bisa membuat pembaca larut masuk ke dalamya. Aku benar-benar merasakan ketakutan yang dialami sang tokoh utama."
"Terima kasih. Kalau boleh jujur itu sebetulnya novel yang sangat personal. Hahaha"
"Kurasa terlalu sayang juga jika tidak dibagi kan?"
"Ya benar."
Aku setuju dengan pendapatnya, meski sebetulnya juga bukan karena sayang. Tapi lebih karena aku takut akan melupakan proses berharga yang terjadi saat membuatnya. Tanganku masih sibuk memilih design mana yang akan dijadikan cover dari Outer God ini. Yang paling menarik perhatianku adalah gambar dengan bulan dan sungai merah. Dari raut wajah Gotou dia sepertinya sudah mengira aku akan memilih ini.
Seorang waiter datang menghampiri. Gotou memesan teh earl grey dan aku memesan segelas americano untuk ke 2 kalinya. Aku telah sampai di tempat ini 30 menit lebih awal.
"Aku mendengar katanya Gotou-san akan menikah? benar?" tanyaku untuk sekedar basa-basi.
"Sudah tahu ya? Iya, aku akan menikah bulan depan."
"Oh, benar toh. Kamu seperti tidak mengenal editorku saja. Dia kan memang trivial sekali. Pengetahuannya terlalu luas dan aneh-aneh. Sampai-sampai ke ukuran pakaianmu pun dia tahu."
"Ah pasti itu karena dia pernah memberikanku jas untuk acara di Hakone bulan April lalu."
"Ya sepertinya begitu sih."
Karena kami duduk di pinggir jendela, aku jadi bisa melihat langit diluar yang sudah mulai gelap.
"Kamu bawa payung karena tahu akan hujan ya?" tanyaku penasaran.
"Tidak, aku memang selalu membawa payung ini."
"Meski hari panas?"
"Iya, sebetulnya aku berharap bisa mengembalikan ini pada pemiliknya. Meski aku tak tahu dimana pemiliknya berada sekarang."
"Itu terdengar sangat romantis."
"Tidak, tidak seperti itu. Kenapa aku masih berharap bisa mengembalikan payung ini, aku pun tidak mengerti."
"Sudah jelas kan itu karena kamu ingin bertemu dengannya lagi." ujarku sembari mengambil americano dari tray si waiter yang terlihat agak ceroboh itu. Lalu dia terlihat dengan hati-hati menaruh teh milik Gotou.
"Jika tidak keberatan, apakah anda bersedia mendengar ceritaku? hitung-hitung sembari menunggu hujan reda?" tanya Gotou tiba-tiba. Kali ini raut wajahnya menampakkan kebingungan. Mungkin karena aku mengungkit soal payung itu? atau si pemilik payung? aku berkata akan dengan senang hati mendengarkan. Setelah menyelesaikan 1 novel aku punya banyak waktu, sampai-sampai aku pun bingung ingin menghabisi waktu luang ku dengan apa. Semakin panjang ceritanya semakin baik sih. Asal dia tidak meminta saran atau nasihat dariku saja. Aku bukan tipe orang yang bisa menasehati orang lain agar merasa lebih baik. Kalau merasa lebih depresi mungkin iya.
"Apa Iijima-san percaya bahwa ada orang yang tiba-tiba menjadi tuna aksara ketika dewasa? Meski awalnya bisa membaca dengan normal, namun karena suatu hal orang itu kehilangan kemampuannya. Bagai terkena kutukan."
Pembukaan obrolan panjang kami dimulai dari pertanyaan aneh itu. Aku tidak begitu paham situasinya. Tapi pertanyaan itu tampak tidak nyata. Seperti tak mungkin terjadi di zaman ini. Aku orang yang percaya bahwa apapun bisa dipelajari. Belajar membaca bukanlah hal yang sulit. Begitu pikirku. Karena itu aku menganggap pertanyaannya tidak nyata. Namun nyatanya hal itulah yang mengganggu Gotou Hisashi.
"Kalau lansia mungkin saja." ujarku sembari memperhatikan gelagatnya yang berbeda dari biasanya.
"Tidak, dia bukan lansia. Usiaku dan dia bisa dibilang sepantaran. Saat SMU kami 1 sekolah dan selama 3 tahun kami berada di kelas yang sama. Klub kami juga sama. Klub drama. Jadi bayangkan saja selama 3 tahun aku hampir setiap hari bersama dia. Belajar, main, jalan-jalan. Meski begitu kami tidak sering ngobrol ber 2. Seperti ada jarak dan tembok yang terlihat tinggi diantara kami. Dulu dia itu gadis yang sangat cantik. Idola sekolah dan juga bintang klub drama kami. Pintar dan sangat ramah, banyak orang yang mengira dia akan jadi aktris besar saat sudah dewasa. Kekasihnya adalah sahabat karibku sejak kecil. Pria yang tak kalah cemerlangnya. Tampan, atletis, pembicara yang baik dan juga sangat pintar. Wanita itu tergila-gila padanya. Aku bisa melihat dari caranya menatap sahabatku setiap hari. Mereka ber-2 terlihat seperti pasangan yang sempurna. Aku sih saat itu kelihatan seperti obat nyamuk mereka, selalu mengekor kemanapun mereka pergi. Di klub itu aku bekerja di balik layar untuk mendesain panggung drama yang akan dipentaskan. Aku sudah suka menggambar sejak SD, mungkin karena itu juga sahabatku mempercayakan panggungnya padaku. Dia penulis cerita dan naskah yang cukup handal untuk seusianya. Karyanya selalu nyeleneh dan menghibur. Dia mampu menarik perhatian banyak orang. Hidupnya saat itu sangat berwarna. Sampai pada titik akhir pun masih sangat berwarna. Berbeda dengan wanita itu, meski kuakui saat ini dia masih cantik. Namun kondisinya bertolak belakang dari harapan."
"Kamu bertemu dengan teman sekolahmu itu?" tanyaku.
"Ya, sekitar 1 tahun yang lalu. Saat pergi dengan tim penerbit ke sebuah bar di Ginza aku bertemu dengannya lagi setelah 11 tahun. Dia bekerja sebagai hostess di bar itu. Aku cukup kaget saat menemukannya ada di bar kecil seperti itu, tapi aku tak ragu sedikitpun dalam mengenalinya. Wanita itu pasti dia. Dulu dia selalu tampak bersih dan mengenakan pakaian-pakaian bagus. Tidak kekurangan apapun. Namun yang ada disampingku saat itu adalah wanita dengan parfum menyerbak yang mengenakan gaun ketat mini, menampakkan belahan dada, serta memamerkan sedikit celana dalamnya saat duduk. Rambut ikalnya diberi hairspray agar bertahan menggelung di depan dadanya. Bulu mata palsunya tampak tidak rekat. Make up nya pun tampak tidak menempel. Dia seperti hostess yang gagal. Malam itu aku memilihnya sebagai partner minumku. Dia bertanya-tanya kenapa aku memilihnya, biasanya pria yang datang akan memilih gadis yang lebih muda dan bersemangat. Aku melihat inferioritas pada ucapannya. Namun hari itu aku tetap memilihnya. Dia tak ingat padaku. Aku memberinya kartu nama, namun dia hanya melihat saja. Tampak bingung. Saat itu aku belum tahu jika dia tak bisa membaca. Maka aku kembali memperkenalkan diri sebagai Gotou Hisashi. Sahabat kekasihnya saat masa SMU. Dia tampak terharu dan kaget sampai mengeluarkan air mata."
Gotou tidak pernah membicarakan seseorang. Namun dari nada bicaranya saat itu, aku tahu jika kisah seperti ini biasanya tidak dia bagi dengan orang lain. Dia berbicara dengan terburu-buru, tapi di setiap helaan nafasnya dia terlihat sangat gugup. Kurasa hujan diluar sudah jadi pertanda isi hatinya. Mendung gelap itu mewakilkannya. Aku mempersilahkannya melanjutkan cerita.
"Meski hostess tapi dia bukan pelacur. Aku lupa bagaimana awalnya hingga bisa terjadi, tapi malam itu aku tidur dengannya. Dia terus memanggil nama sahabatku saat bercinta… Kazuya. Hashimoto Kazuya. Sedangkan aku dengan tololnya mengerang sambil terus memanggil nama wanita itu. Aku jarang bercinta, seperti yang anda lihat… aku pincang. Aku jarang punya kekasih. Karena itu juga aku jadi jarang bercinta. Namun malam itu, dia tampak sangat menginginkanku. Kami melakukannya sampai 4x dengan posisi yang sama. Dan setelah letih barulah kami tidur berpelukan sampai pagi. Ah… maaf aku tidak bermaksud cerita hal yang porno atau boasting akan hubungan seks-ku. Aku yakin Anda lebih berpengalaman dan bertemu dengan wanita yang beragam. Tapi inilah pangkal dari rasa sakitku.’ Setelah mengucapakan ini dia menjadi agak kikuk.
"Tidak masalah. Aku rasa lebih baik diutarakan saja daripada mengganjal. Ini tentang wanita itu?’
"Ya, ini tentang dia.. Sawada Misa."
‘Lanjutkan, aku ingin dengar lebih banyak.’
"Ah ya, maaf. Paginya saat bangun, dia terus menangis dipelukanku. Dia meminta maaf karena menganggapku sebagai Kazuya saat bercinta tadi malam. Jujur aku merasa itu bukan masalah karena aku juga menikmatinya. Setelah itu dia mengakui tentang dirinya yang jadi buta aksara, dia tak lagi bisa membaca huruf apapun. Setelah kecelakaan motor yang merenggut nyawa Kazuya dan juga sebelah kakiku. Kemampuan Sawada untuk membaca juga hilang. Naskah serta buku drama yang ditinggalkan Kazuya tak lagi memiliki arti untuknya. Wanita itu didiagnosis mengalami shock trauma yang sangat berat hingga membuatnya jadi menutup diri akan kemampuan membaca serta memberi nalar pada huruf. Ya, kecelakaan itu membuat kami cacat. Fisik dan mental. Sawada pasti terlalu mencintainya. Dan dia tak bisa hidup tanpa pria itu. Bagai sebuah buku yang kehilangan tulisan di dalamnya, itulah Sawada sekarang. Seonggok lembaran kertas putih.’
"Tapi itu sudah 11 tahun. Dia tak kunjung sembuh?" tanyaku.
"Ya, huruf-huruf ini, masih terlihat seperti gambar baginya. Simbol. Tidak berarti." Ujar Gotou sembari menyisip pada gelas tehnya.
"Ngomong-ngomong, aku baru tau kalau itu karena kecelakaan." Ujarku sambil melihat pada kaki kiri Gotou.
"Saat kelas 3 SMU aku mengalami kecelakaan motor dengan Kazuya. Malam itu kami pergi untuk menemui Sawada. Namun na’as ada truk dengan pengemudi mabuk yang melaju kencang dan menerobos lampu merah. Kami dihantam dengan keras. Aku terpental ke trotoar, sedangkan Kazuya meninggal di tempat."
"Aku turut berduka. Maaf sebelumya, aku jadi membuatmu mengingat hal yang tidak menyenangkan."
"Tak apa. Aku sudah lama tenggelam dalam rasa sedih karena kematian Kazuya. Aku telah memutuskan untuk tetap hidup dengan memikul semangat dan harapan nya juga. Begitu-begitu dia pria paling cemerlang yang aku kenal. Anda nomor 2 nya. Hahaha."
"Ah nomor 2. Hmmm, kalau dia masih hidup mungkin dia bisa jadi sutradara theater, dorama atau film ya."
"Mungkin... dia akan menyutradarai adaptasi cerita milik Anda." Ujarnya berandai-andai. Gotou yang kulihat hari itu adalah pria galau yang melankolis.
"Dia harus hebat kalau begitu." Ujarku sembari memberikan senyum lebar.
"Sayangnya itu tak mungkin terjadi. Karena yang tersisa di dunia ini hanya aku yang cacat fisik dan kekasihnya yang buta aksara. Aku benar-benar tak bisa membayangkan hidup sendiri di Tokyo tanpa bisa membaca. Saat itu, atas dasar yang tidak kuketahui akupun mengajaknya untuk tinggal bersama. Aku memutuskan akan tinggal di Tokyo jika dia mau tinggal bersamaku. Saat itu aku masih bolak balik Nagoya-Tokyo untuk urusan pekerjaan. Namun dia tampak bingung, tak bisa memberi jawaban apa-apa. Aku mengatakan padanya untuk tidak terburu-buru membuat keputusan. Aku akan menunggu dalam beberapa hari. Saat itu aku sudah mengajarinya menggunakan asisten telepon seperti SIRI dan juga voice chat. Jika dia ingin tinggal bersamaku cukup hubungi aku dengan menekan 1 tombol panggilan. Namun nyatanya dia tak pernah menghubungiku lagi selama 6 bulan. Kadang aku ingin mengunjunginya ke bar, sayangnya aku sangat sibuk, dan kenyataan dia yang tidak menghubungiku lagi membuatku takut kalau kehadiranku akan menganggunya saat itu.’
"Kenapa ingin tinggal bersama? Karena seks yang sangat berkesan di malam itu?"
"Tidak, sebetulnya biasa saja. Bisa dibilang agak membosankan karena aku yang punya keterbatasan fisik ini. Kami juga 2 individu yang jauh berbeda. Tanpa ada Kazuya, kami tidak pernah bisa mengobrol banyak. Jika bersama, kami akan lebih banyak diam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Seks itu pun bukan sesuatu yang aku inginkan lagi darinya. Aku mengajaknya tinggal bersama lebih karena ingin menjaganya. Tak terbayang jika dia yang tidak bisa membaca itu hidup sendiri. Mungkin saja dia akan ditipu oleh orang-orang disekitarnya atau didekati orang yang mau merampas uang hasil kerja kerasnya. Tak punya tempat bernanung lalu mati di jalan.’
"Jadi murni karena kasihan?"
"Mungkin. Aku tak bisa menyukai seseorang yang tidak cocok denganku. Tidak ada daya tarik apapun dari dirinya. Namun aku merasa jika bisa menjaganya itu akan lebih baik, demi Kazuya juga."
"Sayangnya dia tak menghubungimu selama 6 bulan? Berarti dia menghubungimu lagi setelah itu?"
"Ya, dia menghubungiku lagi. Tapi kala itu aku sudah menjalin hubungan dengan kekasih ku yang sekarang. Menetap di Tokyo dan tinggal di apartment yang sama. Sawada mengajakku bertemu. Kekasihku yang tahu hal itu jadi sangat cemburu. Alasannya konyol, dia cemburu karena tak mengenal wanita itu sama sekali. Selama ini dia selalu mengenal orang-orang dalam circle ku & kerabat2 ku, tapi aku tak pernah menceritakan apapun tentang Sawada. Kami sempat bertengkar besar karenanya. Namun aku yang sangat ingin tahu kondisi Sawada memutuskan untuk tetap menemuinya. Aku di maki dan didamprat habis-habisan oleh kekasihku. Aku menjelaskan dengan panjang lebar bahwa Sawada hanya seorang teman lama dengan kondisi memprihatinkan. Dia akhirnya mau mengerti dan membiarkan ku pergi. Siang itu Sawada memintaku menjemputnya di depan bar tempatnya bekerja. Bar itu ada di Ginza. Karena cukup jauh, aku mengusulkan untuk datang ke restoran dekat workshopku. Namun sayangnya dia tidak bisa membaca tanda marka jalan serta nama restoran. Dia juga tidak bisa naik kereta. Ingatannya lemah. Meski kujelaskan panjang lebar penunjuk arah menuju tempatku, Sawada takut tidak dapat menemukannya. Akupun dengan pasrah berangkat menemuinya. Menyeret kakiku yang ngilu sampai ke tempat itu. Dia tampak lusuh dan jauh lebih kurus dibanding pertemuan sebelumnya."
Gotou berhenti sebentar dan mengambil pak rokoknya. Mengeluarkan rokok sebatang, namun teringat bahwa mereka berada di area non smoking. Gotou menaruh lagi rokoknya dan melanjutkan ceritanya.
"Dengan frustasi dan sedikit memelas, dia mengajakku ke sebuah love hotel. Dia bercerita bahwa sejak malam itu (malam dimana kami bercinta) bayangan Kazuya tak kunjung hilang dari pikirannya. Dia takut jika melakukan hubungan seks dengan pria lain dan memanggil nama Kazuya, pria itu akan sakit hati dan membencinya. Selama 6 bulan itu dia tidak berkencan dengan siapapun, dia bahkan tidak bercinta dengan siapapun. Kalau ditanya apakah aku percaya saat dia berkata seperti itu. Ya, aku percaya. Lalu akhirnya dia mengakui bahwa kali ini dia sudah tidak mampu menahan hasrat nya lagi, karena itu dia menghubungiku. Dia rasa jika melakukannya denganku, aku tak akan sakit hati meski dipanggil Kazuya saat bercinta. Di kamar itu aku berpikir keras, memutuskan apakah akan bercinta dengannya atau tidak. Aku sadar aku sudah punya kekasih, wanita yang kucintai sepenuh hati. Aku harusnya tidak melakukan hubungan seks dengan wanita lain. Tapi melihat kondisi Sawada yang seperti itu membuat dadaku sesak. Lalu tanpa bicara kami saling menyentuh tubuh masing-masing, aku mencoba memahami kondisinya. Aku melihat sayatan bekas luka yang ada di pergelangan tangan kirinya. Kulitnya agak menggembung, kurasa dia pernah mencoba bunuh diri namun gagal. Dia menyentuh bekas luka yang ada di punggungku dengan halus. Aku terangsang. Saat itu aku sudah kehilangan akal dan kembali menidurinya. Kali ini dia tidak meneriakkan nama Kazuya. Dia hanya menangis, aku tidak mengerti mengapa dia bisa menangis sedih sembari orgasme. Namun sayup sayup aku mendengarnya terus mengatakan 1 kalimat dengan suara lirih… “Hisashi… maafkan aku…” dia mengucapkan kalimat itu berkali-kali. Setelah bercinta, kami terdiam cukup lama. Tidak mengucapkan apapun. Aku menghisap beberapa batang rokok sedangkan dia lanjut menangis dalam diam. Aku tak mampu berbuat apa-apa untuk menenangkannya. Jadi aku putuskan untuk tidak mengucapkan sepatah katapun. Sorenya kami keluar dari hotel dan makan malam bersama. Aku bertanya makanan apa yang dia inginkan dan dia menjawab makan apapun jadi karena lapar. Percakapan kami hanya itu. Lalu aku masuk ke toko shushi dan dia mengikutiku. Kami makan dalam kondisi diam. Tak ada yang bisa dibicarakan dengannya. Dan disanalah puncak kegelisahanku, akupun akhirnya mengatakan hal paling buruk yang pernah keluar dari mulutku… aku memohon padanya untuk tidak menghubungiku lagi. Aku juga berjanji tak akan menemuinya lagi apapun yang terjadi. Aku sudah memiliki kekasih dan akan menikah, ujarku padanya saat itu. Dia hanya menjawab dengan 1 kata… “Maaf”, yang bodohnya aku tanggapi dengan dingin. Aku menegaskan bahwa aku tak akan melakukan ini lagi (bercinta dengannya), apapun alasannya. Jika dia berpikir aku tak akan sakit hati, dia salah. Bukan sakit hati yang kurasakan. Hanya rasa jijik dan muak padanya. Aku kembali mengingatkannya akan kejadian di malam itu. Kazuya meninggal karena berkendara terburu-buru saat ingin menemuinya. Hatinya sangat kalut. Sawada memutuskannya sehari sebelumnya. Wanita itu berkata kalau sebenarnya dia mencintai pria lain. Kazuya tidak terima dan ingin mendapatkan penjelasan langsung. Namun takdir berkata lain. Kazuya tak pernah mendengar jawaban darinya. Setelah mengkonfrontasinya seperti itu diapun menghilang dari kehidupanku dengan meninggalkan payung hitam ini."
Gotou tertegun lama setelah menjelaskan panjang lebar tentang hubungannya dengan wanita bernama Sawada Misa. Kurasa dia memiliki perasaan bersalah karena mengusir wanita itu, namun mungkin juga dia membenci wanita itu karena jadi penyebab kematian sahabatnya. Aku pernah membaca tentang kondisi disleksia akut yang mungkin terjadi pada seseorang. Memprihatinkan, tapi aneh juga kalau sampai tidak bisa sembuh. Setelah kupikir-pikir hal yang dialami Sawada itu memang lebih mirip seperti kutukan kan? Sayang sekali gadis yang cemerlang saat SMU itu berakhir sebagai hostess tidak laku dari sebuah bar kecil di Ginza.
"Kurasa itu yang terbaik. Dia harus mendapatkan kehidupannya kembali. Yang sebelumnya berjalan tanpamu."
"Ya, benar. Aku berharap dia bisa kembali ke kehidupannya sebelum bertemu denganku. Rasanya aku memang tak sanggup menerima beban moril yang akan dia berikan. Aku bahkan tak bisa berdamai dengan perasaanku sendiri sampai saat ini. Karena itu aku terus lari dari kenyataan. Tapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin dia bahagia. Aku sangat ingin menolongnya. Aku ingin menyentuhnya dan bercinta dengannya. Aku ingin bersamanya. Namun aku takut. Aku takut dia merasakan hal yang sama."
Mataku terbelalak lebar karena tak percaya dengan kata-kata Gotou. Lalu terbesit olehku, pria lain yang dimaksud Sawada itu bisa jadi adalah Gotou sendiri. Bisa jadi mereka saling mencintai dulu. Namun perasaan yang terselubung itu menyebabkan kematian bagi sahabat nya. Itu hanya perkiraanku. Aku tak bisa menanyakannya langsung padanya.
Saat itu Gotou memutuskan untuk pulang lebih dahulu karena ada urusan mendadak. Langit masih menurunkan rintik hujan. Tapi Gotou tetap kukuh menyeret kakinya yang pincang ke jalanan yang legang. Tentu aku khawatir, namun dia berkata akan baik-baik saja karena payung yang dibawanya akan selalu melindunginya. Gotou tersenyum getir dan beranjak pergi dengan tergesa. Senyum itu bukan senyuman bahagia, aku tahu dia menahan tangisannya. Kurasa ada baiknya sesekali dia lampiaskan saja perasaan sedihnya itu. Bukan padaku, tapi pada dunia ini.