Setahun yang lalu, di pertengahan musim panas. Pria itu melayangkan tinjunya ke pipi kiri ku dengan sekuat tenaga tanpa alasan yang jelas. Raut wajahnya yang terlihat panik tak pernah hilang dari pikiranku. Saat itu tak ada masalah yang serius diantara kami. Kami juga tidak berselisih paham. Hubunganku dengannya pun tidak buruk. Malah bisa dibilang akrab. Lalu kenapa dia begitu marah dan meninjuku hanya karena aku membujuknya untuk ikut makan malam di restoran bersama dengan anggota tim lainnya? Sampai saat ini pun aku masih tidak tahu.
Kwon Min-woo adalah teman kerjaku, usianya sebaya, mungkin 28 atau 29 tahun. Masih lajang juga. 3 tahun yang lalu kami masuk ke perusahaan ini bersama-sama. Dia melamar kerja sebagai desain grafis dan diterima sesuai dengan posisi yang dia inginkan. Sedangkan aku, melamar kerja sebagai junior editor namun diterima sebagai staff marketing, alasannya karena skill komunikasi ku sangat bagus. Aku akan lebih berguna bila ditaruh dibagian penjualan. Meski agak sedikit kesal tapi aku tak begitu kecewa, perusahaan penerbitan tempat kami bekerja adalah top 3 di bidangnya. Ribuan calon karyawan memperebutkan posisiku. Jadi bagaimana bisa aku mengeluh. Diterima saja sudah syukur.
Aku dan Min-woo melalui masa training bersama selama 3 bulan. Dari seluruh pegawai yang ada di bagian penerbitan buku, bisa dibilang hanya aku yang terlihat berkomunikasi baik dengan Min-woo. Kebanyakan orang akan merasa segan untuk menyapa dia secara langsung. Mungkin karena tubuhnya yang tinggi besar. Atau mungkin juga karena dia terlalu irit kata sehingga apapun kalimat yang dia keluarkan terasa angkuh, seperti sedang mengintimidasi lawan bicaranya. Penampilan Min-woo pun tak jauh beda dengan kata-katanya, intimidatif. Rambutnya dicukur pendek cepak. Matanya kecil dan tajam. Rahangnya keras. Kalau hanya merujuk pada fisiknya, kurasa dia lebih cocok bekerja sebagai anggota ROKA daripada pegawai kantoran. Meski begitu, Min-woo sebenarnya adalah tipikal kutu buku yang hobi membaca dan membuat ilustrasi dari buku-buku yang dibacanya. Aku pernah melihat instagram artnya, followernya bahkan sampai 50ribu-an. Lalu kenapa dia tidak pernah mau ikut acara malam hari yang diadakan kantor atau tim? Aneh memang.
Dia bahkan punya jadwal kerja yang berbeda. Jika pegawai lain bekerja jam 9 pagi sampai 6 sore. Maka dia masuk lebih pagi dan pulang lebih cepat. Tidak ada karyawan lain yang masuk jam 7 pagi dan pulang jam 4 sore sepertinya. Jika ditanya apa alasannya. Dia bilang hanya harus sudah berada di rumah sebelum malam. Alasan tersebut sangat menggelikan, dia bukanlah anak perempuan yang masih SD, tapi mengapa harus pulang sebelum malam? Aku tak pernah bertanya alasan spesifiknya karena takut terlihat tidak sopan. Namun sekarang, aku benar-benar ingin tahu. Apa se-absolut itu dia harus ada di rumah sebelum malam. Sampai-sampai harus membuat pipiku bengkak. Bisa saja aku mengadukan hal itu kepada atasanku. Tapi saat itu aku masih menahan diri. Raut wajahnya yang panik malah membuatku penasaran, sampai saat ini.
Banyak rumor yang beredar kalau Min-woo adalah pewaris sebuah chaebol besar. Meski tidak ada yang tahu apa nama perusahaan keluarganya. Aku sendiri juga tidak begitu percaya akan rumor tersebut. Penampilan Min-woo selalu terlihat sederhana, dia mengenakan barang-barang tidak ber merk, kemungkinan beli di Myeongdong/Namdaemun. Ponsel nya android biasa, dia bahkan tidak menggunakan iPhone. Pakaiannya juga tidak stylish. Setiap hari dia hanya mengenakan kemeja, cardigan dan celana chino. Paling yang berganti hanya warna kemejanya. Sedangkan warna celananya selalu krem. Aku membayangkan jika dia benar seorang penerus chaebol, maka dia akan menggunakan kendaraan pribadi dan dikawal banyak bodyguard. Nyatanya, Min-woo setiap hari pulang pergi naik bus ke kantor. Boro-boro pengawal. Teman bicara pun dia tak punya. Harusnya kalau dia benar pewaris chaebol akan banyak pihak yang mengincar nyawanya. Seperti di film atau buku. Tapi Min-woo hidup dengan damai setiap hari. Mengerjakan task yang diterimanya melalui worksheet, makan siang di cafetaria, lalu pulang lebih awal dibanding karyawan lainnya.
Entah kenapa kejadian setahun lalu itu malah mengingatkanku akan kekasihku saat SMA. Mantan kekasihku adalah gadis yang cukup manis. Saat dia menembakku pada SMA tahun ke 2, dengan gegabah dan bahagia aku langsung menerimanya. Saat itu aku tipikal siswa yang jarang bergaul dan agak kuper. Tentu saja aku tak menolak ketika diajak pacaran oleh gadis semanis dia. Dia adalah definisi gadis muda yang manis dan sempurna, rambutnya panjang sepunggung, poninya rata menutupi dahi, wajahnya sendu dan suaranya manis. Dia tipikal yang kalem, tidak cerewet dan cukup pintar dalam bidang akademik. Badannya cukup tinggi dan agak berisi. Payudaranya bulat dan terlihat indah dari balik seragamnya. Meski belum mengenalnya terlalu lama, tapi aku ingat dengan jelas kalau saat itu aku benar-benar menyukainya. Cinta monyet ala anak SMA.
Awalnya, hubungan kami berjalan lancar layaknya hubungan anak SMA biasa. Belajar bersama, pulang sekolah bersama dan kadang kami jalan-jalan ke pusat perbelanjaan di tengah kota. Tidak pernah sekalipun ada kontak fisik yang terjadi, apalagi sampai taraf hubungan seksual. Menciumnya saja aku tak pernah. Dia bukan tipe gadis yang memikirkan hal-hal semacam itu. Jujur saja, aku juga tidak tahu apa yang membuatnya suka padaku. Tak banyak yang kuingat tentang dirinya. Jika ada salah satunya adalah hal yang paling sering dia bicarakan. Cita-citanya adalah menjadi Oceanographer (ahli kelautan). Jika sudah bicara tentang ilmu kelautan dan biota laut, maka dia terlihat seperti ensiklopedia hidup. Aku hanya bisa terdiam dan ikut tenggelam dalam samudera biru yang dia impikan.
Dia pernah bercerita kalau dirinya adalah anak tunggal. Apapun yang sedang dia lakukan diluar, apabila sudah pukul 17:00, dia harus pulang kerumah. Apapun alasannya dia harus pulang sebelum mentari terbenam. Aku tak pernah menanyakan alasan jelasnya kenapa harus pukul 17:00. Saat itu kurasa mungkin saja orang tuanya cukup keras. Jadi dia harus mematuhi perintah mereka bagai aturan absolut dalam hidup. Usia gadis itu sudah 18 tahun saat kami berkencan. Bukankah tak akan masalah juga jika pulang terlambat 1-2 jam. Begitu pikirku yang masih naif karena tidak tahu masalah yang akan menanti kedepannya.
Suatu hari di musim gugur, aku melakukan reservasi di restoran terkenal untuk makan malam dengannya. Restoran itu punya menu yang cukup mahal untuk kantong anak SMA. Aku yang belagak romantis ingin menyiapkan sesuatu yang istimewa untuk perayaan 1 tahun hubungan kami. Namun reservasi untuk makan malam hanya bisa dimulai pukul 18:00. Saat menuju restoran dari tempat kami belajar, jam sudah menunjukkan pukul 17:00. Dia meminta ku untuk membatalkan saja reservasinya karena bagaimanapun dia harus pulang. Aku ingat dengan jelas, saat itu aku berlari mengejarnya sampai ke halte bus. Aku mencoba meyakinkannya bahwa dia tidak perlu takut karena pulang terlambat, aku akan bicara dengan orang tuanya dan mengantarkannya pulang pada pukul 19:00. Namun gadis itu tetap kukuh ingin pulang. Dia yang sebelumnya tak pernah berbicara dengan lantang mulai meneriaki ku dengan berbagai kalimat makian dan mencakar tanganku. Yang dia inginkan saat itu hanya pulang kerumah. Diapun akhirnya lari dan memasuki bus. Meninggalkanku dengan beberapa luka cakaran di tangan. Buyarlah sudah rencana bodoh tersebut.

Esoknya, aku yang masih agak kesal, langsung menemuinya untuk memutuskan hubungan kami. Dia menangis dan minta maaf. Dia berharap kami bisa tetap berteman meski tidak lagi berpacaran. Aku mengiyakannya. Kupikir-pikir hubungan kami selama ini pun tak ada bedanya dengan berteman. Saat itu amarahku telah mereda. Mana sanggup aku terus memarahi gadis yang banjir air mata seperti itu. Yang ada aku malah luluh dan ingin menarik kembali kata-kataku. Tapi saat itu kurasa sudah cukup terlambat. Dia berterima kasih dan ingin aku berjanji akan 1 hal. Aku tidak begitu ingat mengenai janji apa yang dia katakan. Antara "jangan menjauh dariku" atau "jangan tinggalkan aku". Semacam itu. Tapi tidak terdengar romantis sama sekali. Lebih ke seperti meyakinkan diriku, karena aku sudah mengetahui maka aku harus menerimanya. Namun jujur, sekarangpun aku tak yakin apa aku benar-benar tahu dan mengerti dirinya.
11 tahun telah berlalu. Kadang aku masih berpapasan dengannya. Usianya kini sudah 29 tahun, masih lajang, sama sepertiku. Dia tinggal di komplek apartment yang sama. 3 bulan yang lalu aku sempat ngobrol sedikit dengannya di cafetaria lantai 1. Dia tinggal sendiri disini. Sudah 3 tahun dia bekerja sebagai guru SMP di sebuah sekolah wanita. Kami berbincang tak lama. Saat itu jam sudah hampir menunjukkan pukul 17:00. Dengan tergesa-gesa dia bergegas untuk kembali ke rumah. Aku hanya bisa pasrah melihatnya pergi saat itu. Meski masih banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan. Namun kurasa aturan absolut itu masih dia pegang. Apapun alasannya, selama apapun waktu berlalu. Aku mungkin tak akan tahu alasan kenapa dia harus kembali ke rumah pada pukul 17:00.
Nama wanita itu, Kwon Mi-ho. Ah, ya. Bukan hanya tindakannya, bahkan namanya pun mirip nama si bangsat yang meninjuku.
No comments:
Post a Comment